Ironi di Tengah Kerukunan Beragama
Editor: Jodhi Yudono
Selasa, 8 Februari 2011 | 01:08 WIB
Ilustrasi Penyerangan Ahmadiyah
Oleh Hanni Sofia
Istora Senayan, Jakarta, Minggu (6/2), gegap gempita. Ratusan orang dari berbagai agama tumpah ruah di gedung olahraga bersejarah itu.
Di antara mereka ada tokoh agama dan tokoh nasional, bahkan utusan PBB pun hadir untuk menghembuskan nafas kerukunan antarumat beragama. Tidak tanggung-tanggung, seluruh dunia.
"The World Interfaith Harmony Week 2011" adalah pesta umat yang disebut Ketua Presidiumnya Din Syamsuddin sebagai Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Dunia.
"Semoga acara ini bisa memberikan pesan kepada seluruh umat di Indonesia. Sebagai bangsa yang majemuk, kita tetap menjalin persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang besar," kata Din.
Maksud kegiatan itu, demikian Din, adalah mengakhiri perjalanan panjang pertikaian antaragama dan kekerasan sehingga umat beragama hidup layak dan damai tanpa perang maupun kekerasan.
Namun, kontras dengan seruan mulia itu, muncul ironi dari Pandeglang, Banten yang pada waktu bersamaan malah menodai acara agung tersebut.
Siapapun tidak menginginkan kerukunan beragama ternodai oleh bentrok mengatasnamakan agama, apalagi itu terjadi tepat di tengah perayaan kerukunan umat sedunia.
Seribuan warga Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, menyerang jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan di kecamatan itu, Minggu, atau hari di mana perhelatan mulia di Gelora Senayan diadakan.
Sekitar pukul 10.30 WIB atau hampir bersamaan dengan acara yang mengagungkan kerukunan dibuka atau saat barongsai perlambang penghormatan terhadap masyarakat Tionghoa digelarkan untuk membuka acara itu, bentrok berdarah pecah di Cikeusik.
Kepala Polres Pandeglang AKBP Alex Fauzy Rasyad menyatakan, serangan terhadap jamaah Ahmadiyah dipicu oleh pernyataan bernada menantang dari anggota jamaah Ahmadiyah kepada warga setempat.
Pada peristiwa itu, sejumlah orang dikabarkan tewas, meski jumlahnya masih belum dipastikan karena polisi belum bersedia mengumumkannya.
Namun Sekretaris Kecamatan Cikeusik, Najmudin, menyebut tiga anggota jamaah Ahmadiyah meninggal dunia dalam bentrokan itu. Sedangkan tokoh masyarakat di sekitar situ, Lukman, menyebut enam orang anggota jamaah Ahmadiyah meninggal akibat bentrokan.
Ketua Presidium Inter-Religious Council Indonesia, Din Syamsiddin, sebagai penyelenggara acara di Istora Senayan, menolak mengomentari bentrok berdarah itu.
"Saya belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai hal itu. Hal itu juga lebih merupakan wilayah MUI (Majelis Ulama Indonesia)," kata Din yang juga Wakil Ketua Umum MUI Pusat itu.
Bentrok di Cikeusik itu bukan yang pertama kalinya. Sebaliknya, rentetan peristiwa serupa terekam baik dalam sejarah kerukunan umat beragama di Indonesia.
Terus terulang
Rekam jejak ribut pengikut Ahmadiyah dengan masyarakat yang berujung bentrok berdarah hampir terjadi setiap tahun. Setengah tahun lalu, keributan serupa terjadi Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Aang Suganda, Bupati Kuningan waktu itu mengatakan, keributan serupa itu kerap terjadi di wilayahnya.
"Apalagi menghadapi bulan Ramadan. Biasanya ini sering terulang," katanya.
Menurut Aang, pemerintah kabupatennya sudah menempuh berbagai upaya untuk meredam bentrokan, bahkan pada 2004 sudah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan beberapa instansi lain. SKB itu sampai ditandatangani juga oleh Kepala Kejaksaan Negeri dan Kantor Kementerian Agama. Setelah SKB dikeluarkan pada 2004, hasil akhirnya bisa dituai. Keributan bisa diredam, sampai akhirnya muncul aksi penyegelan masjid jamaah Ahmadiyah pertengahan 2010 yang menyulut bentrok massa.
Waktu itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto bahkan menginstruksikan langsung aparat keamanan untuk mengambil langkah pencegahan sebelum entrok serupa di kemudian hari.
Dalam monolognya pada Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Sedunia, seniman Butet Kartaraharja menilai bentrok di Banten itu ancaman terhadap kerukunan beragama di Indonesia. Yang sangat memukul Butet itu adalah peristiwa terjadi justru ketika semua umat menggelar Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Sedunia. Butet mempertanyakan polisi yang disebutnya membiarkan umat beragama di Indonesia tidak teguh menjalankan ibadahnya. Butet juga mengingatkan pemerintah. "Dengan semangat kerukunan beragama, saya ingatkan kepada pemerintah agar jangan bohong bahwa kerukunan kita dalam ancaman bahaya," katanya. Dalam situasi seperti itu, demikian Butet, ada dua hal cukup penting yang perlu ditegaskan bangsa ini, yakni kehidupan berbangsa dan beragama. Dan ia menawarkan persoalan itu diselesaikan atas dasar toleransi beragama, bukan toleransi politik atau lainnya. "Toleransi beragama adalah toleransi yang bertujuan untuk membangun kemaslahatan semua umat beragama supaya tercipta kerukunan," katanya.
Dalam kerangka ini, ketokohan agamawan, sebut Butet, menjadi inspirasi untuk menyelesaikan masalah itu. (*)
Sumber : Compas Com
Istora Senayan, Jakarta, Minggu (6/2), gegap gempita. Ratusan orang dari berbagai agama tumpah ruah di gedung olahraga bersejarah itu.
Di antara mereka ada tokoh agama dan tokoh nasional, bahkan utusan PBB pun hadir untuk menghembuskan nafas kerukunan antarumat beragama. Tidak tanggung-tanggung, seluruh dunia.
"The World Interfaith Harmony Week 2011" adalah pesta umat yang disebut Ketua Presidiumnya Din Syamsuddin sebagai Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Dunia.
"Semoga acara ini bisa memberikan pesan kepada seluruh umat di Indonesia. Sebagai bangsa yang majemuk, kita tetap menjalin persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang besar," kata Din.
Maksud kegiatan itu, demikian Din, adalah mengakhiri perjalanan panjang pertikaian antaragama dan kekerasan sehingga umat beragama hidup layak dan damai tanpa perang maupun kekerasan.
Namun, kontras dengan seruan mulia itu, muncul ironi dari Pandeglang, Banten yang pada waktu bersamaan malah menodai acara agung tersebut.
Siapapun tidak menginginkan kerukunan beragama ternodai oleh bentrok mengatasnamakan agama, apalagi itu terjadi tepat di tengah perayaan kerukunan umat sedunia.
Seribuan warga Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, menyerang jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan di kecamatan itu, Minggu, atau hari di mana perhelatan mulia di Gelora Senayan diadakan.
Sekitar pukul 10.30 WIB atau hampir bersamaan dengan acara yang mengagungkan kerukunan dibuka atau saat barongsai perlambang penghormatan terhadap masyarakat Tionghoa digelarkan untuk membuka acara itu, bentrok berdarah pecah di Cikeusik.
Kepala Polres Pandeglang AKBP Alex Fauzy Rasyad menyatakan, serangan terhadap jamaah Ahmadiyah dipicu oleh pernyataan bernada menantang dari anggota jamaah Ahmadiyah kepada warga setempat.
Pada peristiwa itu, sejumlah orang dikabarkan tewas, meski jumlahnya masih belum dipastikan karena polisi belum bersedia mengumumkannya.
Namun Sekretaris Kecamatan Cikeusik, Najmudin, menyebut tiga anggota jamaah Ahmadiyah meninggal dunia dalam bentrokan itu. Sedangkan tokoh masyarakat di sekitar situ, Lukman, menyebut enam orang anggota jamaah Ahmadiyah meninggal akibat bentrokan.
Ketua Presidium Inter-Religious Council Indonesia, Din Syamsiddin, sebagai penyelenggara acara di Istora Senayan, menolak mengomentari bentrok berdarah itu.
"Saya belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai hal itu. Hal itu juga lebih merupakan wilayah MUI (Majelis Ulama Indonesia)," kata Din yang juga Wakil Ketua Umum MUI Pusat itu.
Bentrok di Cikeusik itu bukan yang pertama kalinya. Sebaliknya, rentetan peristiwa serupa terekam baik dalam sejarah kerukunan umat beragama di Indonesia.
Terus terulang
Rekam jejak ribut pengikut Ahmadiyah dengan masyarakat yang berujung bentrok berdarah hampir terjadi setiap tahun. Setengah tahun lalu, keributan serupa terjadi Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Aang Suganda, Bupati Kuningan waktu itu mengatakan, keributan serupa itu kerap terjadi di wilayahnya.
"Apalagi menghadapi bulan Ramadan. Biasanya ini sering terulang," katanya.
Menurut Aang, pemerintah kabupatennya sudah menempuh berbagai upaya untuk meredam bentrokan, bahkan pada 2004 sudah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan beberapa instansi lain. SKB itu sampai ditandatangani juga oleh Kepala Kejaksaan Negeri dan Kantor Kementerian Agama. Setelah SKB dikeluarkan pada 2004, hasil akhirnya bisa dituai. Keributan bisa diredam, sampai akhirnya muncul aksi penyegelan masjid jamaah Ahmadiyah pertengahan 2010 yang menyulut bentrok massa.
Waktu itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto bahkan menginstruksikan langsung aparat keamanan untuk mengambil langkah pencegahan sebelum entrok serupa di kemudian hari.
Dalam monolognya pada Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Sedunia, seniman Butet Kartaraharja menilai bentrok di Banten itu ancaman terhadap kerukunan beragama di Indonesia. Yang sangat memukul Butet itu adalah peristiwa terjadi justru ketika semua umat menggelar Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Sedunia. Butet mempertanyakan polisi yang disebutnya membiarkan umat beragama di Indonesia tidak teguh menjalankan ibadahnya. Butet juga mengingatkan pemerintah. "Dengan semangat kerukunan beragama, saya ingatkan kepada pemerintah agar jangan bohong bahwa kerukunan kita dalam ancaman bahaya," katanya. Dalam situasi seperti itu, demikian Butet, ada dua hal cukup penting yang perlu ditegaskan bangsa ini, yakni kehidupan berbangsa dan beragama. Dan ia menawarkan persoalan itu diselesaikan atas dasar toleransi beragama, bukan toleransi politik atau lainnya. "Toleransi beragama adalah toleransi yang bertujuan untuk membangun kemaslahatan semua umat beragama supaya tercipta kerukunan," katanya.
Dalam kerangka ini, ketokohan agamawan, sebut Butet, menjadi inspirasi untuk menyelesaikan masalah itu. (*)
Sumber : Compas Com
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.