MINGGU 16 Oktober 2011
Yes 45:1,4-6, Mzm 96:1,3,4-5,7-8,9-10ac, 1Tes 1:1-5b, Mat 22:15-21
“Berikanlah kepada kaisar yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah yang menjadi hak Allah.”
Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: "Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: "Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu." Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."
RENUNGAN:
“Warga negara yang baik, taat membayar pajak tepat waktu.” Slogan ini pasti pernah kita baca dalam satu spandok atau baliho yang dibuat dipinggir jalan. Banyak orang yang membaca pesan ini seikit mencibir dan berpikir bahwa saat ini rasanya urgi membayar pajak karena ternyata banyak pajak yang dikorupsikan oleh beberapa oknum petugas pajak. Membiarkan pajak seakan menambah uang untuk dikorupsikan para petugas pajak. Pemikiran ini tentu tidak tepat, karena jelas bagi kita bahwa pajak adalah diperuntukkan untuk kepentingan negara dan masyarakat. Kalaupun dikorupsikan, itu adalah kasus penyelewengan oleh orang-orang tertentu.
Soal membayar pajak, berbeda halnya dengan injil hari ini. Pajak ditarik dari masyarakat adalah diperuntukkan kepada penjajah sebagai tanda ataun betuk ketundukan sebgai taklukan kepada bangsa penjajah. Jadi jelas bukan untuk kepentingan rakyat, tapi kepentingan penjajah. Oleh karena itu, orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Mereka bertanya demikian kepada Yesus bukan untuk minta peneguhan atau pendapat, tetapi dengan tujuan untuk menjebak Yesus. Atas pertanyaan itu, bila Yesus menjawab ‘Ya” Yesus akan dipersalahkan karena dianggap sebagai pengkhianat yang berpihak kepada penjajah dan tidak berpihak atau membela rakyat. Namun bila Yesus menjawab ‘tidak”, maka Yesus juga akan dilaporkan kepada Kaisar karena dianggap menentang penjajah dan kaisar dan dituduh menghasut rakyat untuk tidak membayar pajak.
Yesus tahu kelicikan hati mereka yang hendka menjebak Dia. Malah akhirnya Yesus sebenarnya justru menjebak atau membuka kedok kelicikan hati mereka dengan meminta mata uang dari mereka. Kalau sekiranya mereka sebagai guru yang baik, yang berpihak kepada rakyat, tentu mereka tidak menyimpan mata uang penjajah. Namun nyatanya ketika Yesus meminta mata uang dari mereka, mereka memberi mata yang penjajah. Mereka sendiri mengantongi mata uang itu, itu berarti mereka mengatakan diri mereka sebagai guru yang berpihak pada rakyat, ternyata lebih takut kepada Kaisar atau penjajah. Mereka lebih takut kepada kaisar daripada membela rakyat, tentu demi kepentingan jabatan dan juga kepentingan ekonomi mereka.
“Berikanlah kepada kaisar, apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.”
Menjawab pertanyaan orang-orang Farisi, Yesus tidak menjawab boleh atau tidak. Tetapi Yesus kembali mengungkap kebusukan hati mereka selama ini, yangmana mereka mengatakan diri sebagai guru, orang beriman, tetapi lebih mementingkan kepentingan sendiri bukan kepentingan Allah. Kepentingan Allah adalah mereka mewartakan Kerajaan Allah, membawa orang percaya kepada Allah, hidup dan berbuat baik kepada orang lain. Ini adalah hak Allah, karena Allah telah memberi hidup, melimpahkan berkat-Nya dan mempercayakan tugas itu kepada mereka. Namun mereka lupa bahwa semuanya itu berasal dari Allah sehingga Allah berhak atas semuanya itu.
Sabda Yesus ini juga menjadi permenungan bagi kita semua. Kita seringkali bersikap munafik seperti orang-orang Farisi yang bertanya untuk menjebak Yesus. Seringkali apa yang kita katakan tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan dan perbuat. Terkadang kita menyampaikan sesuatu atau bertanya kepada orang lain, bukan dengan maksud baik, tetapi hanya sekedar menjebak orang itu, untuk mempermalukannya dan juga untuk pamer diri bahwa kita lebih baik dari mereka. Ini tentu hanya sedikit dari perilaku hidup yang dalam kepura-puraan dan kemunafikan. Dari sebab itu, baiklah kita selalu berusaha agar hidup kita selaras dengan apa yang kita katakan, apa yang kita pikirkan dan kehendakai. Kita hendaknya selalu berusaha memiliki hati yang tulus, murni dan jujur.
Dalam hidup, kita pasti membayar pajak, entah itu disadari atau tidak. Saat kita makan di restoran atau mengingap di hotel, biasanya biaya pajak ditambahkan dalam biaya makan atau penginapan. Kita tahu itu dan kita tidak protes. Bila kita telat bayar pajak, kita pasti akan didenda. Singkatnya, kita membahar pajak kepada negara yang menjadi kewajiban kita. Pajak kepada negara bisa kita artikan dalam artian yang lebih luas, yakni kewajiban kita dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan dalam adat. Kita pasti membayar kewajiban atau iuran kemasyarakatan, sebab kalau takut dianggap tidak bermasyarakat. Juga kita pasti membayar kewajiban dalam ada, entah itu dengan mengikuti kegiatan adat, atau iuran dalam adat, sebab kalau tidak, kita takut bila dikatakan tidak beradat. Selain itu, pajak kepada negara, bisa kita artikan dalam artian semua hal yang kita lakukan atau berikan untuk kepentingan hidup jasmani kita, misalnya waktu dan tenaga untuk mencari makan, waktu dan tenaga untuk mencari kepuasan badan atau kepuasan diri. Kita taat pajak, taat adat, taat bermasyarakat dan bernegara, juga dalam hal memenuhi kebutuhan jasmani kita. Namun apakah kita juga taat dalam beriman kepada Allah? Apakah kita orang yang taat kepada agama kita? Ini yang harus kita renungkan.
Sehubungan dengan membayar pajak kepada ‘negara’ pasti sudah kita lakukan. Tetapi memberikan apa yang menjadi hak Allah, ini pasti menjadi persoalan yang perlu kita renungkan. Kalau negara, lembaga kemasyarakatan, adat dan tubuh mempunyai hak yang bisa dituntut dari kita, sebenarnya Allah lebih mempunyai hak yang dituntut dari kita, dan bahkan Allah lebih berkuasa menuntut hak-Nya dari kita. Sebab hidup dan apa yang baik yang ada pada kita adalah milik Allah dan berasal dari Allah sendiri. Semuanya itu dipercayakan Tuhan kepada kita, bukan karena jasa atau kebaikan kita. Namun ini seringkali tidak kita sadari sehingga kita tidak menyadari bahwa kita harus memberikan apa yang menjadi hak Allah. Sehingga sebenarnya semua hidup dan apa yang kita miliki adalah hak Allah dan kita harus memberikan apa yang menjadi hak Allah.
Hak Allah yang harus kita berikan kepada-Nya adalah hidup yang senantiasa beriman dan percaya kepada-Nya. Hidup beriman itu kita wujudkan dengan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri. Maka baiklah kiranya kita selalu hidup baik sesuai dengan kehendak-Nya, memberi waktu untuk Tuhan baik itu dalam kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan. Hal ini dikatakan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika. Paulus memuji pekerjaan iman mereka, perbuatan kasih dan pengharapan mereka pada Yesus Tuhan. Kiranya hidup yang demikianlah hidup yang memberikan apa yang menjadi hak Allah.
Dalam hidup sehari-hari, kita menghabiskan uang untuk membayar pajak kepada negara, bayar iuran kemasyarakatan atau untuk kepentingan hidup manusiawi kita. Semua kita lakukan tanpa bersungut-sungut. Namun ketika Tuhan meminta hak-Nya lewat Gereja-Nya sebagai tanda tanggungjawab kita kepada Gereja-Nya, kita umumnya bersungut-sungut, atau pelit atau kalaupun memberi tetap dengan bersungut-sungut dan memberi yang paling kecil. Demikian juga kalau Tuhan menuntut tanggungjawab waktu dan pengorbanan dari hidup yang telah diberikan kepada kita, kita menolak dengan berbagai alasan, ataupun kita memberikan sisa-sisa dari kehidupan kita. Padahal jelas, semuanya adalah hak Allah. Sehingga sebenarnya, bila kita memberikan apa yang menjadi hak Allah, itu sebenarnya kita bukan mempersembahkan apa yang kita miliki kepada Allah, tetapi mengambalikan hak Allah, mengembalikan sebagian kecil dari sekian banyak yang telah diberikan oleh Allah kepada kita. Justru seharusnya, kita harus sadar bahwa Allah lebih berhak menuntut sesuatu dari kita, dan kita lebih wajib memberikan apa yang menjadi hak Allah.
Maka dari itu, semoga kita memberikan apa yang menjadi hak negara, hak hidup tetapi terutama memberikan apa yang menjadi hak Allah. Amin.