Misa Tridentin: Warisan Liturgi yang Dipertahankan
HIDUPKATOLIK.com - Paus Benediktus XVI mengeluarkan Surat Apostolik Summorum Pontificum yang menjamin penggunaan Misa Tridentin bagi semua imam dan umat Katolik. Surat tersebut dikeluarkan pada 7 Juli 2007, dan mulai diberlakukan pada 14 September 2007.
Seiring dipromulgasikannya Summorum Pontificum, Bapa Suci juga menuliskan surat kepada seluruh uskup, dengan tanggal yang sama, untuk memberikan penjelasan dan petunjuk pelaksanaannya. Paus menyebutkan, Gereja Katolik Roma tetap hanya mempunyai satu ritus, tetapi dapat dirayakan dengan dua tata cara liturgi resmi.
Tata cara tridentin disebut sebagai bentuk liturgi yang luar biasa (forma extraordinaria); sedangkan tata cara liturgi hasil pembaruan Konsili Vatikan II disebut sebagai bentuk liturgi yang biasa (forma ordinaria). Bentuk liturgi yang biasa ini adalah tata cara yang dipromulgasikan pada tahun 1970, pada masa Paus Paulus VI, dan pembaruan terakhir dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 2005. Oleh karena itu, tata cara yang biasa tersebut dikenal dengan Missale Romanum Paulus VI.
Keduanya, baik bentuk liturgi yang biasa maupun yang luar biasa, adalah sama dan tidak dapat dipertentangkan satu sama lain. Dua cara liturgi itu tetap menunjukkan ekspresi tata doa (lex orandi) Gereja yang bersumber dari satu ritus Gereja Latin Roma yang sah.
Sebenarnya Summorum Pontificum sebagai motu propio (dengan kehendak sendiri) merupakan penegasan dari motu propio Ecclesia Dei yang dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 2 Juli 1988. Reksa pastoral Yohanes Paulus II tersebut didorong oleh adanya survei dari para uskup seluruh dunia yang termuat dalam Notitiae (1981). Dua dokumen motu propio tersebut secara tegas mengizinkan pelaksanaan Missale Romanum 1962 yang tidak lain adalah tata cara tridentin.
Dalam Summorum Pontificum, Paus Benediktus XVI juga mengutip dokumen khusus tentang pelaksanaan tata cara tridentin, Quattuor Abhinc Annos, yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat pada 1984.
Komisi Ecclesia Dei
Dalam perkembangannya, pada 1991 Takhta Suci membentuk Komisi Kepausan Ecclesia Dei yang diberi wewenang untuk melaksanakan dan memantau ketaatan pada keputusan Surat Apostolik Bapa Suci. Saat ini Ecclesia Dei diketuai oleh Kardinal William J. Levada, Prefek Kongregasi Ajaran Iman.
Pada 30 April 2011 Komisi Ecclesia Dei mengeluarkan instruksi tentang penerapan Summorum Pontificum. Instruksi tersebut berisi tentang hal-hal praktis yang terkait dengan pelaksanaan tata cara tridentin. Imam dan umat berhak merayakan Misa Tridentin dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu. Misalnya, pengetahuan dan pemahaman bahasa Latin harus memadai, tidak terhalang oleh Hukum Kanonik untuk merayakan Misa, dan imam mampu menunjukkan diri secara spontan dan terbiasa atau pernah merayakan Misa ini. Begitupun bagi para uskup diosesan. Para uskup bertugas memantau dalam rangka menjamin kebaikan bersama dan menjamin pelaksanaan serta penghormatan terhadap tata cara tridentin ini sesuai dengan amanat Bapa Suci dalam Summorum Pontificum.
Hal fundamental dalam instruksi ini adalah larangan untuk mempertentangkan validitas tata cara tridentin dengan tata cara biasa. Dalam Perayaan Ekaristi, bacaan Misa dapat dinyatakan dalam bahasa Latin, atau bahasa Latin diikuti bahasa setempat, atau hanya dalam bahasa setempat. Bahkan, demi kebutuhan pastoral, uskup diosesan berwenang memastikan calon imam dilatih untuk merayakan tata cara yang tidak biasa ini.
Tujuan ‘Summorum Pontificum’
Banyak orang menangkap bahwa Summorum Pontificum hanya bertujuan untuk merangkul kembali kelompok Mgr Marcel Lefebvre, yang dikenal sebagai kelompok tradisionalis Society of St Pius X (SSPX). Kelompok ini menentang hasil Konsili Vatikan II. Pada 1998 SSPX diekskomunikasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Tetapi, setahun setelah mengeluarkan Summorum Pontificum, pada 2008 Paus Benediktus XVI mencabut ekskomunikasi kelompok ini.
Namun, dokumen tersebut sebenarnya bertujuan untuk menawarkan kepada umat tata cara liturgi tua (usus antiquior) dalam Gereja Katolik sebagai harta bernilai yang harus dipertahankan. Hal ini direfleksikan sebagai reksa pastoral bagi umat yang ingin merayakannya. Dalam dokumen lain, Sacramentum Caritatis, juga disinggung tentang khazanah Gereja yang harus dipelihara dan dilestarikan, antara lain penggunaan bahasa Latin.
R.B. Agung Nugroho
Disadur dari: Majalah Hidup Katolik, Edisi No. 41 Tanggal 9 Oktober 2011
Seiring dipromulgasikannya Summorum Pontificum, Bapa Suci juga menuliskan surat kepada seluruh uskup, dengan tanggal yang sama, untuk memberikan penjelasan dan petunjuk pelaksanaannya. Paus menyebutkan, Gereja Katolik Roma tetap hanya mempunyai satu ritus, tetapi dapat dirayakan dengan dua tata cara liturgi resmi.
Tata cara tridentin disebut sebagai bentuk liturgi yang luar biasa (forma extraordinaria); sedangkan tata cara liturgi hasil pembaruan Konsili Vatikan II disebut sebagai bentuk liturgi yang biasa (forma ordinaria). Bentuk liturgi yang biasa ini adalah tata cara yang dipromulgasikan pada tahun 1970, pada masa Paus Paulus VI, dan pembaruan terakhir dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 2005. Oleh karena itu, tata cara yang biasa tersebut dikenal dengan Missale Romanum Paulus VI.
Keduanya, baik bentuk liturgi yang biasa maupun yang luar biasa, adalah sama dan tidak dapat dipertentangkan satu sama lain. Dua cara liturgi itu tetap menunjukkan ekspresi tata doa (lex orandi) Gereja yang bersumber dari satu ritus Gereja Latin Roma yang sah.
Sebenarnya Summorum Pontificum sebagai motu propio (dengan kehendak sendiri) merupakan penegasan dari motu propio Ecclesia Dei yang dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 2 Juli 1988. Reksa pastoral Yohanes Paulus II tersebut didorong oleh adanya survei dari para uskup seluruh dunia yang termuat dalam Notitiae (1981). Dua dokumen motu propio tersebut secara tegas mengizinkan pelaksanaan Missale Romanum 1962 yang tidak lain adalah tata cara tridentin.
Dalam Summorum Pontificum, Paus Benediktus XVI juga mengutip dokumen khusus tentang pelaksanaan tata cara tridentin, Quattuor Abhinc Annos, yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat pada 1984.
Komisi Ecclesia Dei
Dalam perkembangannya, pada 1991 Takhta Suci membentuk Komisi Kepausan Ecclesia Dei yang diberi wewenang untuk melaksanakan dan memantau ketaatan pada keputusan Surat Apostolik Bapa Suci. Saat ini Ecclesia Dei diketuai oleh Kardinal William J. Levada, Prefek Kongregasi Ajaran Iman.
Pada 30 April 2011 Komisi Ecclesia Dei mengeluarkan instruksi tentang penerapan Summorum Pontificum. Instruksi tersebut berisi tentang hal-hal praktis yang terkait dengan pelaksanaan tata cara tridentin. Imam dan umat berhak merayakan Misa Tridentin dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu. Misalnya, pengetahuan dan pemahaman bahasa Latin harus memadai, tidak terhalang oleh Hukum Kanonik untuk merayakan Misa, dan imam mampu menunjukkan diri secara spontan dan terbiasa atau pernah merayakan Misa ini. Begitupun bagi para uskup diosesan. Para uskup bertugas memantau dalam rangka menjamin kebaikan bersama dan menjamin pelaksanaan serta penghormatan terhadap tata cara tridentin ini sesuai dengan amanat Bapa Suci dalam Summorum Pontificum.
Hal fundamental dalam instruksi ini adalah larangan untuk mempertentangkan validitas tata cara tridentin dengan tata cara biasa. Dalam Perayaan Ekaristi, bacaan Misa dapat dinyatakan dalam bahasa Latin, atau bahasa Latin diikuti bahasa setempat, atau hanya dalam bahasa setempat. Bahkan, demi kebutuhan pastoral, uskup diosesan berwenang memastikan calon imam dilatih untuk merayakan tata cara yang tidak biasa ini.
Tujuan ‘Summorum Pontificum’
Banyak orang menangkap bahwa Summorum Pontificum hanya bertujuan untuk merangkul kembali kelompok Mgr Marcel Lefebvre, yang dikenal sebagai kelompok tradisionalis Society of St Pius X (SSPX). Kelompok ini menentang hasil Konsili Vatikan II. Pada 1998 SSPX diekskomunikasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Tetapi, setahun setelah mengeluarkan Summorum Pontificum, pada 2008 Paus Benediktus XVI mencabut ekskomunikasi kelompok ini.
Namun, dokumen tersebut sebenarnya bertujuan untuk menawarkan kepada umat tata cara liturgi tua (usus antiquior) dalam Gereja Katolik sebagai harta bernilai yang harus dipertahankan. Hal ini direfleksikan sebagai reksa pastoral bagi umat yang ingin merayakannya. Dalam dokumen lain, Sacramentum Caritatis, juga disinggung tentang khazanah Gereja yang harus dipelihara dan dilestarikan, antara lain penggunaan bahasa Latin.
R.B. Agung Nugroho
Disadur dari: Majalah Hidup Katolik, Edisi No. 41 Tanggal 9 Oktober 2011
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.