Misa Tridentin: Pro dan Kontra
HIDUPKATOLIK.com - Misa Tridentin adalah sebuah bentuk Misa Ritus Romawi yang diundangkan oleh Paus Pius V pada 1570, berdasarkan keputusan Konsili Trente, dan diberlakukan di seluruh Gereja Barat, kecuali wilayah-wilayah dan Lembaga Hidup Bakti yang mempunyai tradisi tata cara Misa yang telah berusia 200 tahun.
Pada 1962 Paus Yohanes XXIII mengundangkan kembali Misa Tridentin, yang dipakai hingga November 1969 ketika diperkenalkan Misa Paulus VI, sebagai tindak lanjut pembaruan liturgi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), khususnya dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci.
Dokumen pendukung
Sejak digunakan Tata Cara Misa Baru pada 1969, Misa Tridentin tidak pernah secara eksplisit dibatalkan. Melalui Konstitusi Apostoliknya, Paus Paulus VI menghendaki agar Tata Cara Misa Baru menggantikan Tata Cara Misa pra-Konsili. Sementara itu muncul kelompok-kelompok yang melawannya dan menghendaki agar Misa Tridentin tetap dapat digunakan. Menanggapi situasi ini, pada 3 Oktober 1984 Kongregasi Ibadat mengeluarkan surat Quattuor Abhinc Annos yang menyatakan, para uskup dapat memberikan izin (indult) kepada para imam dan umat yang menghendaki Misa Tridentin 1962 dengan syarat tertentu.
Pada 2 Juli 1988 Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Surat Apostolik Motu Proprio Ecclesia Dei yang mengizinkan kelompok-kelompok tertentu merayakan Misa Tridentin dengan izin uskup setempat.
Pada 7 Juli 2007 Paus Benedictus XVI melalui Motu Proprio Summorum Pontificum menegaskan, umat Katolik diizinkan untuk merayakan Misa Tridentin 1962 yang disebut forma extraordinaria, tanpa perlu izin khusus dari uskup setempat. Sebenarnya Paus ingin merangkul semua umat Katolik dalam kesatuan dengan Gereja. Motu Proprio ini kemudian diteguhkan dengan Instruksi Pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Komisi Kepausan Ecclesia Dei pada 30 April 2011.
Pro dan kontra
Ada pandangan pro dan kontra tentang Misa Tridentin. Pro-nya, pertama, untuk membangun sikap toleransi bagi mereka yang mencintai liturgi ini sehingga diharapkan mereka tetap bersatu dengan Gereja. Kedua, Gereja diperkaya dengan Tata Cara Liturgi Lama yang berbahasa Latin. Ketiga, Bapa Suci melihat, tidak ada pertentangan antara liturgi pra-Konsili dan paska-Konsili; ada kontinuitas antara Liturgi Lama dan Liturgi Baru. Keempat, Misa Tridentin dirasakan lebih khusyuk, karena ada banyak waktu hening saat Doa Syukur Agung didaraskan secara berbisik-bisik oleh imam. Imamnya pun perlu mempersiapkannya dengan matang karena ada banyak rubrik (aturan) yang harus ditaati.
Kontra-nya, Misa Tridentin lebih dirasakan sebagai pertunjukan karena bahasa dan struktur yang digunakan. Umat tidak mengerti bahasa Latin sehingga tidak dapat mengikuti doa-doa yang didaraskan. Umat hanya “menonton” imam yang melakukan ritual, karena sama sekali tidak ada partisipasi umat di dalam Misa. Situasi inilah yang ingin diperbarui oleh Konsili Vatikan II. Konstitusi tentang Liturgi Suci menegaskan, liturgi merupakan perayaan iman umat. Liturgi bukan hanya urusan imam belaka, tetapi menjadi urusan umat seluruhnya. Dengan demikian, dibutuhkan partisipasi umat secara penuh, sadar, dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi (SC 14). Penekanan unsur persekutuan ini merupakan ciri paham Gereja sebagai umat Allah. Ciri ini tampak dalam posisi imam yang menghadap ke umat: ada kebersamaan, ada komunikasi, ada perayaan bersama. Rubrik-rubrik yang rumit tidak lagi diterapkan dalam Liturgi Baru. Ada penyederhanaan liturgi supaya umat dapat lebih memahami simbol-simbol yang digunakan dan imam pun tidak perlu menjadi skrupel, tegang, atau takut.
Istilah “extraordinaria” sering disalahartikan sebagai “yang istimewa”. Padahal maksudnya adalah “yang di luar kebiasaan umum”. Maka, tepat dikatakan, Tata Perayaan Ekaristi yang baru tetap merupakan bentuk Ekaristi yang biasa dan baku, sedangkan Misa Tridentin dapat dilakukan di luar yang biasa.
B.A. Rukiyanto SJ
Penulis adalah seorang imam, dosen di Yogyakarta.
Disadur dari: Majalah Hidup Katolik, Edisi No. 41 Tanggal 9 Oktober 2011
Pada 1962 Paus Yohanes XXIII mengundangkan kembali Misa Tridentin, yang dipakai hingga November 1969 ketika diperkenalkan Misa Paulus VI, sebagai tindak lanjut pembaruan liturgi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), khususnya dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci.
Dokumen pendukung
Sejak digunakan Tata Cara Misa Baru pada 1969, Misa Tridentin tidak pernah secara eksplisit dibatalkan. Melalui Konstitusi Apostoliknya, Paus Paulus VI menghendaki agar Tata Cara Misa Baru menggantikan Tata Cara Misa pra-Konsili. Sementara itu muncul kelompok-kelompok yang melawannya dan menghendaki agar Misa Tridentin tetap dapat digunakan. Menanggapi situasi ini, pada 3 Oktober 1984 Kongregasi Ibadat mengeluarkan surat Quattuor Abhinc Annos yang menyatakan, para uskup dapat memberikan izin (indult) kepada para imam dan umat yang menghendaki Misa Tridentin 1962 dengan syarat tertentu.
Pada 2 Juli 1988 Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Surat Apostolik Motu Proprio Ecclesia Dei yang mengizinkan kelompok-kelompok tertentu merayakan Misa Tridentin dengan izin uskup setempat.
Pada 7 Juli 2007 Paus Benedictus XVI melalui Motu Proprio Summorum Pontificum menegaskan, umat Katolik diizinkan untuk merayakan Misa Tridentin 1962 yang disebut forma extraordinaria, tanpa perlu izin khusus dari uskup setempat. Sebenarnya Paus ingin merangkul semua umat Katolik dalam kesatuan dengan Gereja. Motu Proprio ini kemudian diteguhkan dengan Instruksi Pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Komisi Kepausan Ecclesia Dei pada 30 April 2011.
Pro dan kontra
Ada pandangan pro dan kontra tentang Misa Tridentin. Pro-nya, pertama, untuk membangun sikap toleransi bagi mereka yang mencintai liturgi ini sehingga diharapkan mereka tetap bersatu dengan Gereja. Kedua, Gereja diperkaya dengan Tata Cara Liturgi Lama yang berbahasa Latin. Ketiga, Bapa Suci melihat, tidak ada pertentangan antara liturgi pra-Konsili dan paska-Konsili; ada kontinuitas antara Liturgi Lama dan Liturgi Baru. Keempat, Misa Tridentin dirasakan lebih khusyuk, karena ada banyak waktu hening saat Doa Syukur Agung didaraskan secara berbisik-bisik oleh imam. Imamnya pun perlu mempersiapkannya dengan matang karena ada banyak rubrik (aturan) yang harus ditaati.
Kontra-nya, Misa Tridentin lebih dirasakan sebagai pertunjukan karena bahasa dan struktur yang digunakan. Umat tidak mengerti bahasa Latin sehingga tidak dapat mengikuti doa-doa yang didaraskan. Umat hanya “menonton” imam yang melakukan ritual, karena sama sekali tidak ada partisipasi umat di dalam Misa. Situasi inilah yang ingin diperbarui oleh Konsili Vatikan II. Konstitusi tentang Liturgi Suci menegaskan, liturgi merupakan perayaan iman umat. Liturgi bukan hanya urusan imam belaka, tetapi menjadi urusan umat seluruhnya. Dengan demikian, dibutuhkan partisipasi umat secara penuh, sadar, dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi (SC 14). Penekanan unsur persekutuan ini merupakan ciri paham Gereja sebagai umat Allah. Ciri ini tampak dalam posisi imam yang menghadap ke umat: ada kebersamaan, ada komunikasi, ada perayaan bersama. Rubrik-rubrik yang rumit tidak lagi diterapkan dalam Liturgi Baru. Ada penyederhanaan liturgi supaya umat dapat lebih memahami simbol-simbol yang digunakan dan imam pun tidak perlu menjadi skrupel, tegang, atau takut.
Istilah “extraordinaria” sering disalahartikan sebagai “yang istimewa”. Padahal maksudnya adalah “yang di luar kebiasaan umum”. Maka, tepat dikatakan, Tata Perayaan Ekaristi yang baru tetap merupakan bentuk Ekaristi yang biasa dan baku, sedangkan Misa Tridentin dapat dilakukan di luar yang biasa.
B.A. Rukiyanto SJ
Penulis adalah seorang imam, dosen di Yogyakarta.
Disadur dari: Majalah Hidup Katolik, Edisi No. 41 Tanggal 9 Oktober 2011
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.