Teologi tercemar, demikian Waligereja AS
Komisi Ajaran Iman dari Konferensi Waligereja Amerika Serikat (AS) mengkritik Quest for the Living God: Mapping Frontiers in the Theology of God, sebuah buku karya Suster Elizabeth A. Johnson, profesor dari Fordham University.
Dalam pernyataannya, komisi tersebut menegaskan bahwa “persoalan mendasar dari buku karya teolog Katolik tersebut adalah bahwa buku tersebut tidak bertolak dari iman Gereja. Sebaliknya, penulis menggunakan standar dari luar iman untuk secara radikal mengkritik dan merevisi konsepsi Allah yang diwahyukan dalam Kitab Suci dan diajarkan oleh Magisterium.”
Menurut komisi tersebut, Suster Johnson, anggota Tarekat Para Suster St. Yosef dari Brentwood, New York, berupaya untuk membenarkan revisinya terhadap teologi Katolik tradisional dengan menyatakan bahwa tradisi tersebut telah terkontaminasi oleh ide-ide dari para pemikir Abad Pencerahan. Merekalah yang bertanggung jawab atas konsepsi Allah dalam apa yang sebut suster tersebut sebagai “teisme modern.”
“Melawan kontaminasi teologi Kristen setelah Abad Pencerahan yang dikenal dengan theisme modern itu, Sr. Johnson mengaku bahwa dia menggunakan wawasan mendasar dari teologi patristik dan abad pertengahan. Namun, sebagaimana kita lihat, ini menyesatkan, karena dengan dalih mengkritik teisme modern dia mengkritik aspek-aspek penting dari teologi patristik dan abad pertengahan, aspek yang telah menjadi elemen sentral dari tradisi teologi Katolik yang telah diteguhkan oleh Magisterium,” demikian pernyataan komisi tersebut.
Memperjelas persoalan tersebut, komisi mengangkat pernyataan Suster Johnson yang berpendapat bahwa nama-nama Allah itu adalah metafora, bukan realitas Allah itu sendiri, sebagaimana dipahami dalam tradisi Gereja Katolik. Gereja mengajarkan, berdasarkan teologi patristik dan abad pertengahan, bahwa nama-nama tertentu memang benar-benar berlaku untuk Tuhan melalui analogi dan bukan hanya metafora.
“Sementara mempertahankan tradisi teologi Katolik, Suster Johnson menyatakan bahwa bahasa manusia tidak pernah cukup untuk mengungkapkan realitas Allah. Ini berarti dia meninggalkan tradisi, dan yang lebih parah lagi dia membuat pernyataan radikal: bahasa manusia tidak bisa meraih realitas Allah,” demikian konferensi waligereja.
Komisi itu juga mengkritik cara suster tersebut mengkarakterisasikan nama-nama Allah dalam Gereja sebagai metafora-buatan-manusia yang dapat diganti dengan konstruksi-baru-buatan-manusia guna membantu mengubah masyarakat secara positif terutama dalam mempromosikan status sosial-politik perempuan.
“Apa yang kurang dalam seluruh buku tersebut adalah wahyu ilahi yang merupakan landasan teologi Kristen,” demikian komisi tersebut.
“Nama-nama Allah yang ditemukan di Kitab Suci itu bukan sekedar ciptaan manusia biasa yang bisa digantikan oleh siapa saja agar cocok dengan penilaian pribadinya. Standar yang harus dipakai untuk menilai semua pernyataan teologis adalah wahyu ilahi, bukan pemahaman manusia begitu saja.”
Komisi mengeluarkan pernyataan itu karena titik tolak buku tersebut – yaitu tradisi teologi Katolik — tidak bisa diterima. Apalagi buku tersebut diperuntukkan bagi para pembaca yang tidak ahli dan dipakai sebagai textbook untuk studi mengenai doktrin tentang Allah.”
“Dengan alasan inilah … Komisi Ajaran Iman merasa berkewajiban untuk menyatakan secara terbuka bahwa doktrin tentang Allah dalam Quest for the Living God itu tidak sesuai dengan ajaran Katolik yang otentik menyangkut poin-poin esensial,” demikian pernyataan tersebut.
SUMBER
Bishops’ Doctrine Committee Faults Book by Fordham Professor (USCCB)
Statement on Quest for the Living God (USCCB)
Remarks by Cardinal Donald Wuerl (USCCB)
Disadur dari : www.cathnewsindonesia.com
Dalam pernyataannya, komisi tersebut menegaskan bahwa “persoalan mendasar dari buku karya teolog Katolik tersebut adalah bahwa buku tersebut tidak bertolak dari iman Gereja. Sebaliknya, penulis menggunakan standar dari luar iman untuk secara radikal mengkritik dan merevisi konsepsi Allah yang diwahyukan dalam Kitab Suci dan diajarkan oleh Magisterium.”
Menurut komisi tersebut, Suster Johnson, anggota Tarekat Para Suster St. Yosef dari Brentwood, New York, berupaya untuk membenarkan revisinya terhadap teologi Katolik tradisional dengan menyatakan bahwa tradisi tersebut telah terkontaminasi oleh ide-ide dari para pemikir Abad Pencerahan. Merekalah yang bertanggung jawab atas konsepsi Allah dalam apa yang sebut suster tersebut sebagai “teisme modern.”
“Melawan kontaminasi teologi Kristen setelah Abad Pencerahan yang dikenal dengan theisme modern itu, Sr. Johnson mengaku bahwa dia menggunakan wawasan mendasar dari teologi patristik dan abad pertengahan. Namun, sebagaimana kita lihat, ini menyesatkan, karena dengan dalih mengkritik teisme modern dia mengkritik aspek-aspek penting dari teologi patristik dan abad pertengahan, aspek yang telah menjadi elemen sentral dari tradisi teologi Katolik yang telah diteguhkan oleh Magisterium,” demikian pernyataan komisi tersebut.
Memperjelas persoalan tersebut, komisi mengangkat pernyataan Suster Johnson yang berpendapat bahwa nama-nama Allah itu adalah metafora, bukan realitas Allah itu sendiri, sebagaimana dipahami dalam tradisi Gereja Katolik. Gereja mengajarkan, berdasarkan teologi patristik dan abad pertengahan, bahwa nama-nama tertentu memang benar-benar berlaku untuk Tuhan melalui analogi dan bukan hanya metafora.
“Sementara mempertahankan tradisi teologi Katolik, Suster Johnson menyatakan bahwa bahasa manusia tidak pernah cukup untuk mengungkapkan realitas Allah. Ini berarti dia meninggalkan tradisi, dan yang lebih parah lagi dia membuat pernyataan radikal: bahasa manusia tidak bisa meraih realitas Allah,” demikian konferensi waligereja.
Komisi itu juga mengkritik cara suster tersebut mengkarakterisasikan nama-nama Allah dalam Gereja sebagai metafora-buatan-manusia yang dapat diganti dengan konstruksi-baru-buatan-manusia guna membantu mengubah masyarakat secara positif terutama dalam mempromosikan status sosial-politik perempuan.
“Apa yang kurang dalam seluruh buku tersebut adalah wahyu ilahi yang merupakan landasan teologi Kristen,” demikian komisi tersebut.
“Nama-nama Allah yang ditemukan di Kitab Suci itu bukan sekedar ciptaan manusia biasa yang bisa digantikan oleh siapa saja agar cocok dengan penilaian pribadinya. Standar yang harus dipakai untuk menilai semua pernyataan teologis adalah wahyu ilahi, bukan pemahaman manusia begitu saja.”
Komisi mengeluarkan pernyataan itu karena titik tolak buku tersebut – yaitu tradisi teologi Katolik — tidak bisa diterima. Apalagi buku tersebut diperuntukkan bagi para pembaca yang tidak ahli dan dipakai sebagai textbook untuk studi mengenai doktrin tentang Allah.”
“Dengan alasan inilah … Komisi Ajaran Iman merasa berkewajiban untuk menyatakan secara terbuka bahwa doktrin tentang Allah dalam Quest for the Living God itu tidak sesuai dengan ajaran Katolik yang otentik menyangkut poin-poin esensial,” demikian pernyataan tersebut.
SUMBER
Bishops’ Doctrine Committee Faults Book by Fordham Professor (USCCB)
Statement on Quest for the Living God (USCCB)
Remarks by Cardinal Donald Wuerl (USCCB)
Disadur dari : www.cathnewsindonesia.com
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.