KISAH SEJATI: PEMERAN YESUS DALAM FILM "THE PASSION OF THE CHRIST" Kesaksian Jim Caviezel
Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film “The Passion of the Christ”. Berikut refleksi atas perannya di film itu.
Jim Caviezel adalah seorang aktor biasa dengan peran-peran kecil dalam film-film yang juga tidak besar. Peran terbaik yang pernah dilakukannya (sebelum The Passion) adalah sebuah film perang yang berjudul “The Thin Red Line”. Itupun hanya salah satu peran dari bgitu banyak aktor besar yang berperan dal film kolosal itu. Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya.
Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.
“Aku terkejut suatu hari dikirimi naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah aku bermain dalam film besar apalagi sebagai pemeran utama. Tapi yang membuatku lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus ku mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda." demikian pikir Jim Caviezel.
Besok paginya aku mendapat telepon, “Hallo ini, Mel”, kata suara di telpon. “Mel siapa?”, tanya Jim bingung. Aku tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu aktor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan aku menyanggupinya. Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film-film lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya aku harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.
Dan Mel kemudian menatap tajam, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan kuhadapi bila memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karirku sebagai aktor di Hollywood. Sebagai manusia biasa aku gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karirku dalam dunia perfilman.
Dalam kesenyapan menanti keputusan apakah jadi bermain dalam film itu, aku bertanya pada Mel Gibson.,“Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilihku murni karena peranku di “Thin Red Line”. "Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!" sahut Jim.
Maka akupun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan aku terus bertanya-tanya, dapatkah aku melakukannya? Keraguan meliputi sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkanku, karena begitu banyak referensi mengenai DIA dari sudut pandang berbeda-beda.
Akhirnya hanya satu yang bisa kulakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunan-Nya melakukan semua ini. Karena siapalah aku ini, memerankan DIA yang begitu besar. Masa laluku bukan seorang yang dalam hubungan dengan-Nya. Aku memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diriku.
Aku hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera pergelangan kaki menghentikan karirku sebagai atlit bola basket. Aku sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti menghancurkan seluruh hidupku.
Aku kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawaku pada sebuah harapan bahwa seni peran mungkin menjadi jalan hidupku. Kemudian aku mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari terus mengejar casting.
Kini aku telah berada dipuncak peran. Benar Tuhan,.. Engkau yang telah merencanakan semuanya dan membawaku sampai di sini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apa pun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendak-Mu.
Aku tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan.
Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, aku adalah satu-satunya orang di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuatku sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak, aku kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal aku sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun aku mencobanya dengan sekuat tenaga.
Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahuku cedera, dan tubuhku tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan akupun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau aku dalam kecelakaan sebenarnya. Saat itu aku memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan perawatan medis.
Sungguh aku merasa seperti iblis karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun aku hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang dan bertanya apakah aku ingin melanjutkan film ini, ia berkata sangat mengerti kalau aku menolak untuk melanjutkan film itu. Aku bekata pada Mel, aku tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagiku, maka aku akan sangat malu jika tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak cedera lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.
Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagiku, yaitu syuting penyambukan Yesus. Aku gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggungku hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh yang tidak terlindungi papan. Aku tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan di tanah sambil memaki orang yang mencambukku. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara aku harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuhku. Aku terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang bisa menyebabkan kematian), seluruh tubuhku lumpuh tak bisa bergerak, mulutku gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawaku jadi taruhannya.
Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawaku sangat depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawaku pada batas kemanusiaanku. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu sampai pada batas kekuatan kemanusiaanku, saat aku tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawaku pada batas-batas fisik dan jiwaku sebagai manusia. Aku sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga sering kali aku harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau aku tidak mampu lagi, memohon DIA agar memberi kekuatan bagiku untuk melanjutkan semuanya ini. Aku tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya DIA. DIA bukan sekadar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwa-Nya.
Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat aku ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Aku ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, aku adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja aku berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantamku beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan akupun tidak sadarkan diri.
Yang ku tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan namaku, saat aku membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi di sini).
“Apa yang telah terjadi?” tanyaku. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuhku menghitam karena hangus, dan rambut berasap. Sungguh sebuah mujizat kalau aku selamat dari peristiwa itu.
Melihat dan merenungkan semua itu sering kali aku bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun aku terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat pada-Nya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang bertanya bagaimana perasaanku saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat ku ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada di situ, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diri-Nya sendiri.
Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karirku berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaanku sebagai aktor. Walaupun aku harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak aku memerankan film ini.
Aku ber arap mereka yang menonton "The Passion of Jesus Christ" tidak melihatku sebagai aktornya. Aku hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihatku dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran dalam The Passion dan menjadi kecewa.
Tetap pandang hanya pada Yesus saja, jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidupku. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidupku, aku berharap hal yang sama juga terjadi pada hidup anda. Amin.
(Teresa Avila Henny)
Jim Caviezel adalah seorang aktor biasa dengan peran-peran kecil dalam film-film yang juga tidak besar. Peran terbaik yang pernah dilakukannya (sebelum The Passion) adalah sebuah film perang yang berjudul “The Thin Red Line”. Itupun hanya salah satu peran dari bgitu banyak aktor besar yang berperan dal film kolosal itu. Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya.
Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.
“Aku terkejut suatu hari dikirimi naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah aku bermain dalam film besar apalagi sebagai pemeran utama. Tapi yang membuatku lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus ku mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda." demikian pikir Jim Caviezel.
Besok paginya aku mendapat telepon, “Hallo ini, Mel”, kata suara di telpon. “Mel siapa?”, tanya Jim bingung. Aku tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu aktor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan aku menyanggupinya. Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film-film lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya aku harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.
Dan Mel kemudian menatap tajam, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan kuhadapi bila memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karirku sebagai aktor di Hollywood. Sebagai manusia biasa aku gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karirku dalam dunia perfilman.
Dalam kesenyapan menanti keputusan apakah jadi bermain dalam film itu, aku bertanya pada Mel Gibson.,“Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilihku murni karena peranku di “Thin Red Line”. "Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!" sahut Jim.
Maka akupun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan aku terus bertanya-tanya, dapatkah aku melakukannya? Keraguan meliputi sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkanku, karena begitu banyak referensi mengenai DIA dari sudut pandang berbeda-beda.
Akhirnya hanya satu yang bisa kulakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunan-Nya melakukan semua ini. Karena siapalah aku ini, memerankan DIA yang begitu besar. Masa laluku bukan seorang yang dalam hubungan dengan-Nya. Aku memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diriku.
Aku hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera pergelangan kaki menghentikan karirku sebagai atlit bola basket. Aku sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti menghancurkan seluruh hidupku.
Aku kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawaku pada sebuah harapan bahwa seni peran mungkin menjadi jalan hidupku. Kemudian aku mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari terus mengejar casting.
Kini aku telah berada dipuncak peran. Benar Tuhan,.. Engkau yang telah merencanakan semuanya dan membawaku sampai di sini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apa pun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendak-Mu.
Aku tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan.
Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, aku adalah satu-satunya orang di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuatku sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak, aku kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal aku sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun aku mencobanya dengan sekuat tenaga.
Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahuku cedera, dan tubuhku tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan akupun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau aku dalam kecelakaan sebenarnya. Saat itu aku memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan perawatan medis.
Sungguh aku merasa seperti iblis karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun aku hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang dan bertanya apakah aku ingin melanjutkan film ini, ia berkata sangat mengerti kalau aku menolak untuk melanjutkan film itu. Aku bekata pada Mel, aku tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagiku, maka aku akan sangat malu jika tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak cedera lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.
Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagiku, yaitu syuting penyambukan Yesus. Aku gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggungku hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh yang tidak terlindungi papan. Aku tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan di tanah sambil memaki orang yang mencambukku. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara aku harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuhku. Aku terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang bisa menyebabkan kematian), seluruh tubuhku lumpuh tak bisa bergerak, mulutku gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawaku jadi taruhannya.
Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawaku sangat depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawaku pada batas kemanusiaanku. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu sampai pada batas kekuatan kemanusiaanku, saat aku tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawaku pada batas-batas fisik dan jiwaku sebagai manusia. Aku sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga sering kali aku harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau aku tidak mampu lagi, memohon DIA agar memberi kekuatan bagiku untuk melanjutkan semuanya ini. Aku tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya DIA. DIA bukan sekadar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwa-Nya.
Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat aku ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Aku ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, aku adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja aku berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantamku beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan akupun tidak sadarkan diri.
Yang ku tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan namaku, saat aku membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi di sini).
“Apa yang telah terjadi?” tanyaku. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuhku menghitam karena hangus, dan rambut berasap. Sungguh sebuah mujizat kalau aku selamat dari peristiwa itu.
Melihat dan merenungkan semua itu sering kali aku bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun aku terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat pada-Nya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang bertanya bagaimana perasaanku saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat ku ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada di situ, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diri-Nya sendiri.
Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karirku berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaanku sebagai aktor. Walaupun aku harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak aku memerankan film ini.
Aku ber arap mereka yang menonton "The Passion of Jesus Christ" tidak melihatku sebagai aktornya. Aku hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihatku dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran dalam The Passion dan menjadi kecewa.
Tetap pandang hanya pada Yesus saja, jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidupku. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidupku, aku berharap hal yang sama juga terjadi pada hidup anda. Amin.
(Teresa Avila Henny)
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.