MASUKNYA KATOLIK KE SAMOSIR
Sejak misionaris-misionaris Kapusin masuk Sumatera (1911), kelompok-kelompok orang Batak telah menyatakan keinginannya untuk masuk agama Katolik.
Atas permohonan orang-orang yang tinggal di Samosir, pada pertengahan Mei 1935 Pastor Sybrandus menyeberang untuk Pertama kali ke Pulau Samosir, persisnya ke Sipinggan Harian di mana stasi telah dibuka dan anggotanya kira-kira 60 keluarga. Pada kunjungan kedua, dibuka dua stasi baru, yakni di Palipi dan Simbolon. Pada November 1935 dibuka lagi dua stasi, yakni Sideak dan Sirait.
Pada 8 November 1935 Mgr. Brans mengunjungi Samosir. Di mana-mana beliau diterima dengan antusias dengan memakai gondan g (gendang). Awalnya di OnanRunggu kemudian di Sipinggan, Sinaga Uruk dan PaliPi. Melihat perkembangan jumlah anggota Gereja Katolik Yang cukup pesat dan menjanjikan di daerah Samosir, maka pada 27 Januai 1936 Mgr. Brans menugaskan Pastor Diego van de Biggelaar sebagai pastor yang khusus melayani di daerah Samosir. Sejak saat itu dia mengunjungi umat secara berkala sambil mencari tempat tinggal yang sesuai. Tak lama kemudian, tepatnya 1April 1936, Pastor Diego, yang juga dipanggil Ompung Bornok, mulai bertempat tinggal sementara di Simbolon sekitar 6 bulan. Karena dia menderita sakit parah sehingga pada akhir Agustus harus dibawa ke Medan. Tugasnya kemudian diserahkan kepada Pastor Procopius Handgraaf.
Kemudian Pada tahun-tahun berikutnya tenaga misi bertambah di Samosir untuk pengembangan dan pelayanan Gereja. Pada 5 Oktober 1936 Pastor Benyamin Dijkstra ditugaskan diSimbolon untuk menemani Pastor Procopius. Pada masa ini kedua pastor tersebut sudah melayani delapan stasi. Dua tahun berikutnya, pada 8 Februari 1938 datang lagi tenaga baru, yaitu Pastor Beatus Jenniskens untuk memperkuat kelompok misi di Simbolon. Menjelang akhir tahun 1938, beberapa stasi baru dibuka di Pangururan dan dilayani dari Simbolon. Pada 1 April 1939, pusat pewartaan di Samosir dipindahkan dari Simbolon ke Palipi. Pada 2l Agustus 1939 tiba tambahan tenaga baru ke Palipi, Yaitu Pastor Wendelinus Willems. Dan Pada 23 Desember 1939 Pastor Reginald Beys ditempatkan di Onan Runggu untuk menemai Pastor Beatus Jenniskens yang sudah lebih dahulu tinggal di sana sejak Oktobers 1939 sudah dibuka Paroki Onan Runggu.
Jumlah umat di daerah Pangururan dan sekitarnya juga mengalami perkembangan yang menakjubkan. Pada tahun 1940 sudah ada tujuh stasi di daerah ini. Masyarakat Pangururan yang sangat antusias terhadap agama Katolik sungguh memberikan harapan perkembangan ke masa depan. Menyadari prospek yang menjanjikan ini, maka diusulkan agar di Pangururan dibuka satu paroki baru. Usul itu ditanggapi positif dan didukung sepenuhnya oleh Mgr. Brans. Pada 1 Agustus 1941 Paroki Pangururan resmi dibuka dengan tujuh stasi dan Pastor Benyamin Dijkstra ditugaskan di sana sebagai pastor paroki dan dibantu oleh dua orang katekis, yakni Bapak Marianus Pandiangan dan Bapak Johannes Chrisostomus Calvin Tampubolon.
Masa Penawanan Jepang dan Pengasingan
Pada tahun 1942 pemeintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Ketika kekuasaan diambil alih oleh Jepang maka orang-orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia ditawan tentara Jepang tidak terkecuali para pastor yang sedang menjalankan misi di Tanah Batak.
Situasi bahwa semua orang Belanda akan diinternir sudah diketahuioleh para misionaris sebelumnya. Maka mereka mulai memikirkan pelayanan umat saat mereka diinternir. Pada satu kesempatan mereka mengadakan rapat untuk mengangkat sejumlah katekis yang akan memimpin umat selama merekaberada di kamp tahanan Jepang. Langkah ini diambil mengingat umat Katolik yang ada saat itu masih baru dan bahkan sebagian besar masih katekumen.
Untuk memudahkan koordinasi antara parakatekis ini maka atas anjuran Pastor Marianus van den Acker pada Juli 1942 para katekis dikumpulkan di Balige untuk membentuk Badan Pengurus Dewan Misi Darurat Katolik Daerah Tapanuli. Badan ini bertujuan agar para katekis dapat membicarakan bersama berbagai persoalan yang terjadi dalam pelayanan mereka istimewa persoalan antara urnat. Setelah Badan ini dibentuk, diangkatlah Bonifacius Panggabean sebagai ketua. Dari sejumlah katekis yang telah berjasa selama bertahun-tahun ini di antaranya adalah Johannes Chrisostomus Calvin Tampubolon, J.I.A. Situmorang (ayah dari Mgr. Martinus D. Situmorang), Bonifacius Panggabean, C. Siagian, J.M. Samosir, R. Pardede, J. Sinaga, W. Simangunsong, dan S. Silaban.
Selama pendudukan Jepang (l 942 -1945), di mana Gereja seperti anakyatim piatu karena para gembala diangkut ke pengasingan, Gereja tetap bisa jalan berkat jasa dan kerja keras para pemuka jemaat awam. Contohnya, menurut buku permandian Pangururan sebanyak 228 orang dipermandikan salama periode tanpa imam (1942-1950). Mereka terutama anak-anak dan lanjut usia. Umumnya mereka dipermandikan oleh J.C. Tampubolon (nama aslinya Kalvin diganti dengan nama Katolik Johannes Chrysostomus) dan beberapa imam dari Jawa yang singgah di Pangururan.
Pertengahan Agustus 1945, tentara Sekutu membom Hirosima dan Nagasaki yang memaksa tentara Jepang menyerah kalah kepada tentara Sekutu. Tiga hari setelah Jepang menyerah, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tetapi belum diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Segera setelah Jepang menyerah maka para Peresmian Paroki Tomok oleh Mgr AGP Datubara, 29 Oktober 2006 tawanan Belanda dibebaskan termasuk para misionaris. Setelah dibebaskan, para misionaris tersebut ingin segera mengunjungi umat. Tetapi hal tersebut ternyata tidak mudah. Dengan diam-diam para misionaris mencoba memberanikan diri kembali ke paroki pedalaman walau tak ada izin dan situasi tidak aman. Pastor Elpidius van Duijnhoven, Pastor Radboud Waterreus dan Pastor Beatus Jennisken mengalami sendiri pergolakan dan perjuangan anti Belanda di pedalaman. Sungguh tidak aman bagi orang asing. Ketiga kapusin ini sempat dianiaya dan disandera oleh para pejuang.
Pada akhir tahun 1949 dan awal tahun 1950 semua serdadu reguler Belanda kembali ke tanah aimya. Tinggal hanya laskar-laskar sewaan Belanda yang sama sekali tidak dapat dipercayai.
Suasana ini menjadikan situasi sangat tegang juga bagi misionaris. Mereka harus memilih tinggal di Indonesia atau pulang ke negara asal. Dengan tegas Mgr. Bransmenjawab: TINGGAL! Dan semua memberanikan diri dan memutuskan tinggal dan bergabung dengan umat pro kemerdekaan Indonesia. Tidak jelas apa mendasari perubahan ini. Yang jelas: Demi KerajaanAllah. ' Sekali lagi diminta seorang pastor pribumi dari Jawa sebagai "perisai" untuk para misionaris. Pastor Wijo Soesanto datang. Dan Pastor Beatus Jennisken mendapat izin untuk pergi bersama Pastor Wijo mengunjungi Onan Runggu dan Palipi.
Perkembangan yang Pesat
Melihat perkembangan umat yang begitu pesat dan jumlah stasi yang terus bertambah serta semakin banyaknya stasi yang jaraknya cukup jauh dari paroki, maka diusulkan untuk membuka paroki baru di Samosir. Pada tanggal 29 Oktober 2006 dibuka Paroki Tomok-Simanindo yang merupakan pemekaran dari Paroki Parapat dan Pangururan. Dirasakan dan diyakini bahwa Gereja Katolik tidak cukup hanya memperhatikan altar. Perhatian akan karya-karya karitatif harus juga mendapat porsi yang memadai. Dalam hal ini biarawan-biarawati sangat berjasa. Pada 13 November 1951, empat orang suster Kongregasi KYM diutus ke Palipi. Tak lama setelah membuka komunitas di sana, mereka membuka SKP (Sekolah Keterampilan Putri) dan Balai Pengobatan. Pada 20 September 1951 , dua orang bruder Kongregasi Budi Mulia diutus ke Onan Runggu dan membuka komunitas di sana. Karya awal mereka adalah bekerja sebagai guru di SMP Katolik yang baru saja dibuka. Namun mereka tidak lama menetap di Onan Runggu, sebab pada 9 Juni 1953 mereka pindah ke Pangururan. Pada I Juli 1 953 mereka membuka sekolah yangdimulai dengan dua kelas dan jumlah murid 85 orang. Kemudian mereka membuka asrama putera. Hingga saat ini mereka tetap mengambil bidang pendidikan dan asrama putera sebagai karya mereka. Lalu pada 19 Februrari 1960 Suster-suster Kongregasi FCJM membuka komunitas di Onan Runggu dengan kary a p elay artan poliklinik dan mengajar di sekolah. Kemudian menyusul pada 8 November I 966, empat orang suster Kongregasi FSE datang ke Pangururan. Karya mereka adalah pelayanan kesehatan dengan Balai Pengobatan dan asrama puteri.
Kerasulan para biarawan-biarawati tersebut sungguh mempunyai peranan yang besar dalam menuntun orang-orang Batak mengenal agama Katolik. Tepatlah instruksi Mgr. Brans agar para misionaris imam tidak terutama mengurus sekolah, melainkan membaptis orang menjadi Katolik. Sekolah, kesehatan dan karya karitatif lainnya merupakan tugas utama para misionaris lokal, yaitu suster, frater, dan bruder. (red. )
Disadur dari: MENJEMAAT, No. */XXXII/Agustus 2011
Atas permohonan orang-orang yang tinggal di Samosir, pada pertengahan Mei 1935 Pastor Sybrandus menyeberang untuk Pertama kali ke Pulau Samosir, persisnya ke Sipinggan Harian di mana stasi telah dibuka dan anggotanya kira-kira 60 keluarga. Pada kunjungan kedua, dibuka dua stasi baru, yakni di Palipi dan Simbolon. Pada November 1935 dibuka lagi dua stasi, yakni Sideak dan Sirait.
Pada 8 November 1935 Mgr. Brans mengunjungi Samosir. Di mana-mana beliau diterima dengan antusias dengan memakai gondan g (gendang). Awalnya di OnanRunggu kemudian di Sipinggan, Sinaga Uruk dan PaliPi. Melihat perkembangan jumlah anggota Gereja Katolik Yang cukup pesat dan menjanjikan di daerah Samosir, maka pada 27 Januai 1936 Mgr. Brans menugaskan Pastor Diego van de Biggelaar sebagai pastor yang khusus melayani di daerah Samosir. Sejak saat itu dia mengunjungi umat secara berkala sambil mencari tempat tinggal yang sesuai. Tak lama kemudian, tepatnya 1April 1936, Pastor Diego, yang juga dipanggil Ompung Bornok, mulai bertempat tinggal sementara di Simbolon sekitar 6 bulan. Karena dia menderita sakit parah sehingga pada akhir Agustus harus dibawa ke Medan. Tugasnya kemudian diserahkan kepada Pastor Procopius Handgraaf.
Kemudian Pada tahun-tahun berikutnya tenaga misi bertambah di Samosir untuk pengembangan dan pelayanan Gereja. Pada 5 Oktober 1936 Pastor Benyamin Dijkstra ditugaskan diSimbolon untuk menemani Pastor Procopius. Pada masa ini kedua pastor tersebut sudah melayani delapan stasi. Dua tahun berikutnya, pada 8 Februari 1938 datang lagi tenaga baru, yaitu Pastor Beatus Jenniskens untuk memperkuat kelompok misi di Simbolon. Menjelang akhir tahun 1938, beberapa stasi baru dibuka di Pangururan dan dilayani dari Simbolon. Pada 1 April 1939, pusat pewartaan di Samosir dipindahkan dari Simbolon ke Palipi. Pada 2l Agustus 1939 tiba tambahan tenaga baru ke Palipi, Yaitu Pastor Wendelinus Willems. Dan Pada 23 Desember 1939 Pastor Reginald Beys ditempatkan di Onan Runggu untuk menemai Pastor Beatus Jenniskens yang sudah lebih dahulu tinggal di sana sejak Oktobers 1939 sudah dibuka Paroki Onan Runggu.
Jumlah umat di daerah Pangururan dan sekitarnya juga mengalami perkembangan yang menakjubkan. Pada tahun 1940 sudah ada tujuh stasi di daerah ini. Masyarakat Pangururan yang sangat antusias terhadap agama Katolik sungguh memberikan harapan perkembangan ke masa depan. Menyadari prospek yang menjanjikan ini, maka diusulkan agar di Pangururan dibuka satu paroki baru. Usul itu ditanggapi positif dan didukung sepenuhnya oleh Mgr. Brans. Pada 1 Agustus 1941 Paroki Pangururan resmi dibuka dengan tujuh stasi dan Pastor Benyamin Dijkstra ditugaskan di sana sebagai pastor paroki dan dibantu oleh dua orang katekis, yakni Bapak Marianus Pandiangan dan Bapak Johannes Chrisostomus Calvin Tampubolon.
Masa Penawanan Jepang dan Pengasingan
Pada tahun 1942 pemeintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Ketika kekuasaan diambil alih oleh Jepang maka orang-orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia ditawan tentara Jepang tidak terkecuali para pastor yang sedang menjalankan misi di Tanah Batak.
Situasi bahwa semua orang Belanda akan diinternir sudah diketahuioleh para misionaris sebelumnya. Maka mereka mulai memikirkan pelayanan umat saat mereka diinternir. Pada satu kesempatan mereka mengadakan rapat untuk mengangkat sejumlah katekis yang akan memimpin umat selama merekaberada di kamp tahanan Jepang. Langkah ini diambil mengingat umat Katolik yang ada saat itu masih baru dan bahkan sebagian besar masih katekumen.
Untuk memudahkan koordinasi antara parakatekis ini maka atas anjuran Pastor Marianus van den Acker pada Juli 1942 para katekis dikumpulkan di Balige untuk membentuk Badan Pengurus Dewan Misi Darurat Katolik Daerah Tapanuli. Badan ini bertujuan agar para katekis dapat membicarakan bersama berbagai persoalan yang terjadi dalam pelayanan mereka istimewa persoalan antara urnat. Setelah Badan ini dibentuk, diangkatlah Bonifacius Panggabean sebagai ketua. Dari sejumlah katekis yang telah berjasa selama bertahun-tahun ini di antaranya adalah Johannes Chrisostomus Calvin Tampubolon, J.I.A. Situmorang (ayah dari Mgr. Martinus D. Situmorang), Bonifacius Panggabean, C. Siagian, J.M. Samosir, R. Pardede, J. Sinaga, W. Simangunsong, dan S. Silaban.
Selama pendudukan Jepang (l 942 -1945), di mana Gereja seperti anakyatim piatu karena para gembala diangkut ke pengasingan, Gereja tetap bisa jalan berkat jasa dan kerja keras para pemuka jemaat awam. Contohnya, menurut buku permandian Pangururan sebanyak 228 orang dipermandikan salama periode tanpa imam (1942-1950). Mereka terutama anak-anak dan lanjut usia. Umumnya mereka dipermandikan oleh J.C. Tampubolon (nama aslinya Kalvin diganti dengan nama Katolik Johannes Chrysostomus) dan beberapa imam dari Jawa yang singgah di Pangururan.
Pertengahan Agustus 1945, tentara Sekutu membom Hirosima dan Nagasaki yang memaksa tentara Jepang menyerah kalah kepada tentara Sekutu. Tiga hari setelah Jepang menyerah, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tetapi belum diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Segera setelah Jepang menyerah maka para Peresmian Paroki Tomok oleh Mgr AGP Datubara, 29 Oktober 2006 tawanan Belanda dibebaskan termasuk para misionaris. Setelah dibebaskan, para misionaris tersebut ingin segera mengunjungi umat. Tetapi hal tersebut ternyata tidak mudah. Dengan diam-diam para misionaris mencoba memberanikan diri kembali ke paroki pedalaman walau tak ada izin dan situasi tidak aman. Pastor Elpidius van Duijnhoven, Pastor Radboud Waterreus dan Pastor Beatus Jennisken mengalami sendiri pergolakan dan perjuangan anti Belanda di pedalaman. Sungguh tidak aman bagi orang asing. Ketiga kapusin ini sempat dianiaya dan disandera oleh para pejuang.
Pada akhir tahun 1949 dan awal tahun 1950 semua serdadu reguler Belanda kembali ke tanah aimya. Tinggal hanya laskar-laskar sewaan Belanda yang sama sekali tidak dapat dipercayai.
Suasana ini menjadikan situasi sangat tegang juga bagi misionaris. Mereka harus memilih tinggal di Indonesia atau pulang ke negara asal. Dengan tegas Mgr. Bransmenjawab: TINGGAL! Dan semua memberanikan diri dan memutuskan tinggal dan bergabung dengan umat pro kemerdekaan Indonesia. Tidak jelas apa mendasari perubahan ini. Yang jelas: Demi KerajaanAllah. ' Sekali lagi diminta seorang pastor pribumi dari Jawa sebagai "perisai" untuk para misionaris. Pastor Wijo Soesanto datang. Dan Pastor Beatus Jennisken mendapat izin untuk pergi bersama Pastor Wijo mengunjungi Onan Runggu dan Palipi.
Perkembangan yang Pesat
Melihat perkembangan umat yang begitu pesat dan jumlah stasi yang terus bertambah serta semakin banyaknya stasi yang jaraknya cukup jauh dari paroki, maka diusulkan untuk membuka paroki baru di Samosir. Pada tanggal 29 Oktober 2006 dibuka Paroki Tomok-Simanindo yang merupakan pemekaran dari Paroki Parapat dan Pangururan. Dirasakan dan diyakini bahwa Gereja Katolik tidak cukup hanya memperhatikan altar. Perhatian akan karya-karya karitatif harus juga mendapat porsi yang memadai. Dalam hal ini biarawan-biarawati sangat berjasa. Pada 13 November 1951, empat orang suster Kongregasi KYM diutus ke Palipi. Tak lama setelah membuka komunitas di sana, mereka membuka SKP (Sekolah Keterampilan Putri) dan Balai Pengobatan. Pada 20 September 1951 , dua orang bruder Kongregasi Budi Mulia diutus ke Onan Runggu dan membuka komunitas di sana. Karya awal mereka adalah bekerja sebagai guru di SMP Katolik yang baru saja dibuka. Namun mereka tidak lama menetap di Onan Runggu, sebab pada 9 Juni 1953 mereka pindah ke Pangururan. Pada I Juli 1 953 mereka membuka sekolah yangdimulai dengan dua kelas dan jumlah murid 85 orang. Kemudian mereka membuka asrama putera. Hingga saat ini mereka tetap mengambil bidang pendidikan dan asrama putera sebagai karya mereka. Lalu pada 19 Februrari 1960 Suster-suster Kongregasi FCJM membuka komunitas di Onan Runggu dengan kary a p elay artan poliklinik dan mengajar di sekolah. Kemudian menyusul pada 8 November I 966, empat orang suster Kongregasi FSE datang ke Pangururan. Karya mereka adalah pelayanan kesehatan dengan Balai Pengobatan dan asrama puteri.
Kerasulan para biarawan-biarawati tersebut sungguh mempunyai peranan yang besar dalam menuntun orang-orang Batak mengenal agama Katolik. Tepatlah instruksi Mgr. Brans agar para misionaris imam tidak terutama mengurus sekolah, melainkan membaptis orang menjadi Katolik. Sekolah, kesehatan dan karya karitatif lainnya merupakan tugas utama para misionaris lokal, yaitu suster, frater, dan bruder. (red. )
Disadur dari: MENJEMAAT, No. */XXXII/Agustus 2011
Kalo sejarah berdiirinya gereja katolik di desa sideak bagaimana ya? Infonya juga sekitar thn 1930 an. Bgmn penerimaan masyarakat sekitar desa sideak?
ReplyDelete