Jadi, jumlah imam meningkat….
Oleh Michael Kelly, Bangkok
Oleh Michael Kelly, Bangkok
Pengumuman Vatikan pekan lalu tentang peningkatan jumlah imam di dunia dalam dasawarsa terakhir mendapat perhatian besar. Di situs ini saja, berita tersebut mendapat jumlah pengunjung terbanyak pada hari pengumuman itu dirilis, dan berita itu sendiri tersebar sangat luas ke seluruh penjuru dunia.
Tidak perlu sinis terhadap pengumuman itu, karena dengan ungkapan (“There are lies, damn lies and statistics”) ini, Benjamin Disraeli, perdana menteri Inggris abad ke-19 mungkin menyarankan agar kita harus sadar kalau angka-angka itu lebih bisa dipertimbangkan kalau memang menunjukkan kondisi sesungguhnya dari klerus di dalam Gereja.
Menyangkut klaim peningkatan jumlah imam tersebut, patut dipertanyakan, “meningkat relatif terhadap apa?” Jika dikatakan kepada seorang pengusaha bahwa profitnya meningkat, atau orang yang memiliki properti bahwa nilai propertinya naik, maka pertanyaan real untuk kedua orang tersebut adalah: dalam hubungan dengan apa?
Apakah nilai properti itu naik sebelum atau setelah pelunasan uang atau pinjaman? Apakah profit sesuai dengan tingkat pengembalian investasi untuk bisnis tersebut?
Hanya sekedar mengatakan bahwa harga properti naik atau profit bisnis meningkat tanpa melihat kaitannya dengan kualifikasi-kualifikasi ini sebenarnya tidak banyak membantu.
Jadi, jumlah imam meningkat dalam dasawarsa terakhir. Tapi dalam hubungannya dengan apa? Jumlah umat Katolik juga meningkat dalam dasawarsa yang sama sebanyak 128 juta menurut data Vatikan sendiri. Bahkan jika pertambahan jumlah imam sebanyak 50.000 orang (sebagaimana dilaporkan tentang perkiraan tahun sebelumnya) dalam dasawarsa terakhir, maka itu baru setengah dari pertumbuhan jumlah umat yang harus dilayani oleh para imam yang ditahbiskan itu.
Jika peningkatan jumlah umat dan imam dibandingkan, maka sesungguhnya jumlah imam benar-benar berkurang. Dalam satu dasawarsa terakhir, secara relatif, lebih baik dikatakan Gereja “mati.”
Tetapi pertanyaan-pertanyaan tentang jumlah kotor bahkan lebih perlu diselidiki. Di mana sebenarnya umat Katolik memiliki jumlah paling besar dan bagaimana penambahan tahbisan imam baru yang mereka miliki? Bagaimana jumlah imam lanjut usia dalam satu dasawarsa terakhir?
Apakah statistik Vatikan memasukkan para imam yang telah meninggalkan tugas imamat dan masih belum mendapatkan status awamnya? Dewasa ini, banyak imam yang meninggalkan tugas imamatnya tidak menghiraukan permohonan laikisasi karena prosesnya panjang dan Vatikan enggan memberikan status awam tersebut. Jadi banyak imam keluar, menemukan pekerjaan lain, dan menikah, tapi nama mereka masih tercatat sebagai imam.
Dengan beberapa pengecualian — India, Thailand dan Korea di Asia serta Nigeria dan Kongo di Afrika — jumlah imam menurun dibandingkan dengan jumlah umat.
Penyebaran klerus di seluruh dunia sendiri sangat tidak merata. Dalam sebuah kunjungan ad limina dari seorang uskup Australia ke Roma, Paus Yohanes Paulus II menyesalkan bahwa Italia sendiri memiliki 35.000 imam dan bertanya apa sesungguhnya yang mereka perbuat jika tahu bahwa negara-negara lain memiliki jumlah umat Katolik yang lebih besar namun jumlah imamnya terlalu sedikit. Italia sendiri memiliki sekitar sembilan persen dari total imam dunia untuk hanya tiga persen dari total umat Katolik terbaptis di dunia. Filipina baru saja mencapai 2,2 persen total imam dunia untuk 4,5 persen total umat Katolik terbaptis di dunia.
Dunia Barat, seperti biasa diketahui, mengalami penurunan jumlah kotor imam, namun peningkatan jumlah imam lanjut usia. Di Australia, usia rata-rata para imam mendekati 70. Di negara-negara sedang berkembang, usia rata-rata para imam mungkin sedikit lebih dari setengahnya.
Dengan kata lain, jika statistik itu tidak dibuat dalam kaitan dengan konteks real dan relatif, statistik itu tidak banyak gunanya.
Tapi statistik ini bahkan menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar. Apa yang kita maksudkan dengan menggunakan kata “imam?” Apa inti pelayanan seorang imam? Bandingkanlah itu dengan apa yang secara aktual dilakukan para imam. Hal-hal apa yang dilakukan imam, sehingga di banyak tempat di dunia kok malah kaum awam yang tak tertahbis pun melakukannya? Apa batasan terhadap pelayanan imamat dan mengapa itu hanya terbatas pada pria selibat?
Bukankah ada banyak pelayanan dalam Gereja — mengajar, administrasi keuangan dan staf, pelayanan orang sakit dan miskin, pengajaran agama seperti yang dilakukan katekis, dll — yang seharusnya menjadi tugas yang diakui, dirayakan, dan dipercayakan sebagai bagian dari pelayanan Gereja kepada komunitas umat untuk dilakukan?
Lebih dari 20 tahun yang lalu, seorang imam yang kini sudah berusia di atas 80-an mengajukan pertanyaan ini kepada saya: “Michael, apa kamu tahu, dua isu apa yang dikhususkan untuk Paus Paulus VI sendiri dan tidak memperbolehkan untuk dibahas dalam forum Vatikan II?”
Saya jawab, saya tidak tahu. Konsili Vatikan II dimulai ketika saya berusia sembilan tahun dan konsili itu ditutup ketika saya berusia 12 tahun.
“Kontrasepsi dan selibat klerus,” kata imam itu. “Dan dua hal apa yang dianggap sebagai setan bagi Gereja sejak saat itu? Anatomi perempuan dan hakekat pelayanan itu sendiri.”
Dalam Sinode Para Uskup 1971, selibat direncanakan untuk dibahas, namun terbentur agenda yang lebih mendukung keadilan sosial. Sinode tersebut menghasilkan “Dokumen Keadilan di Dunia” yang merupakan suatu terobosan besar. Sejak itu, dokumen ini menjadi mata air bagi berbagai aksi dan refleksi Gereja.
Tapi mungkin sudah saatnya untuk menempatkan kembali pelayanan pada agenda.
Pastor Michael Kelly SJ adalah direktur eksekutif UCA News. Dia telah bekerja dalam produksi radio dan TV sejak 1982 dan sebagai seorang jurnalis di Australia dan Asia untuk berbagai publikasi, baik religius maupun sekuler.
Disadur dari : http://www.cathnewsindonesia.com/Tanggal publikasi: 22 Februari 2011
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.