Eks-yakusa jadi Katolik
Takayuki Oku dan istrinya Yuka. Di belakangnya ada potret dari mendiang ibunya.
Ketika Takayuki Oku berada di kelas dua sekolah menengah pertama di Yamagata City, sekitar 290 kilometer utara Tokyo, dan bekerja sebagai bocah tukang koran, dia bertemu dengan seorang bos geng yakusa. Dia sendiri akhirnya menjadi seorang yakusa.
Pernah, ketika berusia 17 tahun, dia meninggalkan yakusa dan berusaha menjalani kehidupan normal. Pada waktu itu, dia bertemu dengan seorang gadis bernama Yuka, dan keduanya menikah.
Namun, dia kembali ke dunia yakuza dan terus seperti itu hingga suatu hari, ketika dia berusaha melindungi seorang sahabat dekat dan sesama anggota geng yang berusaha menyembunyikan diri dari kelompok tersebut. Sebagai hukuman, Takayuki sendiri dipukul.
Takayuki pulang dengan berlumuran darah. Karena marah dan menyesal atas kehidupannya, dia mencari bantuan polisi dan, akhirnya, memutuskan hubungannya dengan kelompok tersebut.
“[Bahkan setelah itu] saya sendiri masih dihantui oleh kehidupan masa lalu saya. Hingga hari ini, saya masih mengalami persoalan [dalam hubungan saya] dengan orang-orang yang tahu masa lalu saya. Mulai sejak sekolah menengah, orang tidak mau bicara dengan saya … tetapi lain dengan Gereja.”
Takayuki, yang kini berusia 36, dan Yuka memiliki delapan anak, lima perempuan dan tiga laki-laki, berusia mulai dari satu hingga 16 tahun. Namun orang pertama dari keluarga yang pergi ke gereja adalah Takayuki sendiri.
“Empat tahun lalu, ibu saya dan saya mengalami pertengkaran sengit, dan saya menamparnya, ‘Mengapa kamu tidak mati saja?’ Itu terjadi sebelum saya tahu bahwa ibu saya menderita kanker. Beberapa bulan kemudian, ibu saya meninggal … dan saya tidak berkesempatan untuk meminta maaf.”
Takayuki terus bergumul dalam depresi berat. Akhirnya, dia meminta nasehat dari orang yang pernah menjadi ayah angkatnya, yang kebetulan seorang Katolik. Nasehat yang diperoleh adalah “pergi ke gereja.” Dan begitulah, untuk pertama kalinya pada musim panas tahun lalu, dia pergi ke Paroki Yamagata di Kota Yamagata. Di sanalah dia mendengar kotbah dari Pastor Kenji Honma, seorang imam dari Tarekat Hati Kudus Yesus dan Maria.
“Kotbah itu terpusat pada ide bahwa ‘Seberat apapun perkelahian seorang anak dengan orangtuanya, orangtuanya akan selalu mengampuninya.’ Ibu saya menjadi alasan terbesar [saya dibaptis]. Tentu saja, ada juga yang lain, di masa lalu yakusa saya, yang tidak bisa saya katakan di sini. Dan, saya kira, ini semacam apa yang bisa dikatakan sebagai atonement (silih) ….”
Yuka pertama kali pergi ke gereja bersama Takayuki hanya sebagai sopir (karena Takayuki sendiri tidak pinya SIM), dan tidak tertarik dengan agama Kristen. Namun, Yuka mengatakan, suaminya itu orang yang “cepat marah, namun dia berubah setelah dia mulai pergi ke gereja.”
“Semua orang di gereja memperlakukan anak-anak kami dengan ramah, maka anak-anak juga senang ikut ke gereja. Bahkan putri kami yang baru berusia setahun merasa bebas ke mana saja di gereja [dengan kedua tangannya terkatub]. Ketika [suami saya] tanya, bagaimana perasaan kami jika kita semua dibaptisbersama-sama, saya mulai berpikir, dan saya katakan: ‘Ya!’”
Takayuki mengatakan, “Anak-anak sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Tetapi ketika saya katakan bahwa saya akan ke gereja, mereka spontan mengatakan, “saya juga mau, ikut!’ Dan saya tanya mereka, “Ayah akan menjadi seorang anak Tuhan, bagaimana dengan kamu?’ Mereka menjawab, ‘kami juga!’”
Ken’ichi, 16, putra sulung, sangat tertarik pergi ke gereja ketika dia melihat Takayuki membaca sebuah buku tentang agama Kristen di rumah. “Saya masih belum banyak tahu tentang Gereja,” kata Ken’ichi, tetapi beberapa hari setelah terjadi Gempa Bumi paling dahsyat di Jepang bagian timur, dia memesan delapan “Medali Wasiat” sama seperti sebuah medali yang diperoleh dari satu kelompok misioner di gereja. Dia ingin memberi medali-medali itu kepada semua adiknya “sebagai omamori” — yaitu, sesuatu yang bisa memberi perlindungan bersifat mistik – “dari bencana apapun.”
Takayuki mengatakan, “Sekarang ini, mestinya ada latihan persiapan, namun [karena krisis akibat gempa, tidak bisa memperoleh bensin] kami bahkan tidak bisa pergi ke gereja. Namun saya sedang menunggu pembaptisan saya.”
Seluruh keluarga Oku akan dibaptis di Paroki Yamagata pada Malam Paskah, 23 April.
ucanews.com
Disadur dari : www.cathnewsindonesia.com : Tanggal publikasi: 19 April 2011
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.