Renungan Hari biasa Pekan II Prapaskah ; Sabtu 26 Maret 2011
Mi 7:14-15,18-20, Mzm 103:1-2,3-4,9-10,11-12, Luk 15:1-3,11-32
Allah tidak melihat atau mengukur dari besar kecilnya dosa seseorang yang bertobat, tetapi ketulusan hati untuk kembali kepada Allah karena menyadari kasih karuni Allah yang sungguh besar dan membawa kita ke kebahagiaan hidup.
BACAAN INJIL:
Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka." Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: Yesus berkata lagi: "Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."
Demikianlah Injil Tuhan bagi kita hari ini.
RENUNGAN:
“Masihkah Tuhan mau mengampuni dosaku yang sungguh berat?” Pertanyaan ini pernah diucapkan salah seorang narapidana waktu saya bersama kelompok karismatik mengadakan Misa Paskah bersama di sebuah penjara. Saat itu saya dengan yakin dan berani menjawab, “Tuhan pasti mau mengampuni dosa Saudara, sebesar apapun kalau Saudara sungguh mau bertobat dan kembali ke jalan Allah.” Tetapi kalau sekiranya dia bertanya, “Apakah masyarakat, keluarganya dan isterinya masih mau mengampuni kesalahannya dan masih mau menerima dia?” Mungkin pertanyaan ini akan sulit saya jawab dengan pasti, karena seringkali manusia begitu sulit mengampuni sesama yang telah berdosa dan sungguh mau bertobat. Kadang saya berpikir, “Allah saja mau mengampuni dan mau menerima orang yang sungguh bertobat, tetapi mengapa manusia sulit untuk melakukan hal yang sama? Seakan manusia itu justru melebihi Allah sendiri. Padahal Allah adalah Tuhan yang tidak berdosa, mau mengampuni sedangkan manusia tidak ada yang tidak lepas dari kesalahan, tetapi justru tidak mau mengampuni sesamanya.
Injil hari ini, pasti sungguh menarik untuk kita baca dan lebih menarik lagi bila kita renungkan. Kerap orang mengatakan bahwa judul yang tepat untuk perikop ini adalah “Allah Bapa yang berbelas kasih.” Bukan “Anak yang hilang”. Sehubungan dengan hal ini, kita tidak perlu terlalu mempersoalkanya, karena bagi kita adalah merenungkan pesan yang mau disampaikan Allah lewat perikop ini. Kita juga tidak usah terlalu disibukkan untuk menilai dari antara kedua anak itu, mana yang paling berdosa dan yang membutuhkan pertobatan. Sebab seringkali orang sibuk dalam hal ini sehingga merasa diri tidak seperti anak bungsu sehingga tidak membutuhkan pertobatan.
Baik anak sulung maupun anak bungsu, sama-sama tidak terlepas dari kesalahan, kekurangan dan dosa, yang membutuhkan pertobatan. Memang anak sulung tampak jelas perbuatannya yang membuat kita dapat menilai bahwa dia sungguh telah berdosa. Anak bungsu itu merasa dirinya tidak bebas bila tinggal bersama ayahnya, dia ingin bebas dengan hidup sesuka hatinya. Hidup bersama ayahnya dianggap seperti pengekangan diri. Oleh karena itu dia meminta warisan yang menjadi haknya, padahal ayahnya masih hidup. Umumnya yang namanya warisan, itu diterima seseorang ketika ayahnya atau orang tuanya sudah meninggal dunia. Sehingga dengan meminta harta warisan padahal orang tua masih hidup, itu berarti bahwa seseorang itu menganggap ayahnya telah mati. Dapat Anda bayangkan bagimana perasaan anda sekiranya anak Anda meminta warisan padahal Anda masih hidup bahkans egar bugar. Itu sama halnya menganggap Anda sudah mati buat dia. Namun walaupun demikian, ayah itu tetap memberikannya walau dengan terpaksa. Terpaksa tentu bukan karena tidak rela memberinya kepada anaknya, tetapi karena ayahnya itu tahu bahwa perbuatan anaknya itu tidak benar. Ayah itu juga tahu bahwa semuanya itu hanyalah karena akal-akalan anaknya yang merasa ingin hidup bebas sesukanya, dan juga tahu bahwa anaknya akan menderita bila jauh darinya. Namun ayahnya itu tetap memberikannya dan berharap anaknya sadar dan kelak kembali kepadanya. Keraguan ayahnya itu memang benar terbukti, anaknya itu hanya ingin merasa bebas hidup sesuka hatinya, ayahnya itu juga benar bahwa anaknya tidak bisa hidup bahagia bila terpisah darinya, ayah itupun benar bahwa anaknya tidak akan bahagia hidup dalam perbuatan kedosaannya. Kerinduan ayah yang penuh cinta kasih menantikan kembalinya atau pertobatan anaknya juga terkabul karena anaknya kembali kepadanya.
Semuanya itu diceritakan dengan sangat indah dalam injil hari ini. Anak bungsu itu setelah mendapat warisan dari ayahnya, dia pergi jauh menghabiskan hartanya, hidup berfoyah-foyah menghabiskan harta yang diterima dan dia jatuh pada perbuatan dosa yang besar. Akhirnya anak itupun sadar dan kembali ke ayahnya. Namun dia kembali ke ayahnya bukan karena menyadari kasih ayahnya yang sangat besar, bukan pula karena sadar bahwa dia tidak bisa hidup bahagia bila jauh dan tigak tinggal bersama ayahnya. Dia kembali, lebih karena dia menderita dan ingin terbebas dari penderitaan. Namun walaupun demikian, ayahnya yang penuh belaskasih itu digambarkan selalu menunggu dia kembali dan dari jauh sudah melihat anaknya itu kembali. Bahkan Injil mengambarkan bahwa dari jauh ayah itu sudah bisa mengenal anaknya yang kembali, juga digambarkan bahwa ayah itu berlari menyongsongnya, memeluk dan menciuminya. Padahal pasti kondisi tubuh anaknya sudah berubah, yang mungkin karena kelaparan dia sudah kurus, kumal dan mungkin saja sudah berpenyakitan. Namun ayahnya masih bisa mengenalinya dari jauh, berlari menyongsongnya dan tanpa rasa jijik sedikitpun ayah itu memeluk dan menciuminya. Bukan hanya itu, ayah itu sungguh bersukacita karena anaknya sudah kembali kepadanya sehingga dia mengadakan pesta yang besar. Cintanya yang sungguh besar tercurah dari ayahnya itu, dan pasti ini membuat anak itu yang semula kembali kepada ayahnya karena dia kelaparan, menderita, menjadi sungguh-sungguh mengalami pertobatan sejati. Pertobatan sejatinya itu karena akhirnya dia menyadari betapa besar kasih ayahnya kepadanya dan kasih ayahnya itulah yang membawa dia ke kebahagiaan.
Sikap anak bungsu menjadi gambaran kita. Tanpa sadar ataupun dengan sadar kita menganggap bahwa Tuhan telah mati dalam hidup kita, kita menganggap Tuhan telah mati. Menganggap Tuhan telah mati adalah manakala kita tidak percaya lagi kepada-Nya, manakala kita menganggap bahwa kita tidak membutuhkan Tuhan dalam hidup kita, karena kita menganggap bahwa tanpa Dia kita bisa hidup karena kita memiliki harta, kemampuan dan kuasa atau pangkat. Kitapun sering menganggap bahwa perintah-perintah Tuhan justru menghalangi kebebasan kita berbuat sesuka hati kita. Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa Tuhan itu justru mengekang kebebasan kita untuk hidup sesuka hati kita. Kita sering berontak dalam hal ini sehingga pelan-pelan dan pasti kita meninggalkan Dia. Namun hari ini, lewat perikop ini hendaknya kita sadar, bahwa pikiran yang demikian adalah sungguh keliru. Kita diajak belajar dari pengalaman anak bungsu itu. Oleh karena itu, mari kita bertobat dengan menyadari kasih Allah yang sungguh besar, dalam dalam kasih-Nya itu kita akan menemukan kebahagiaan, bukan kebahagiaan itu bukan pada harta, bukan pada kausa, bukan pula pada kebebasan pribadi dan terutama bukan pula dalam kedosaan kita. Kalaupun kita selama ini sudah salah dan berdosa, hendaknya kita kembali kepada Tuhan karena Tuhan selalu menanti kepulangan kita, dia tetap mengenal kita dari jauh walaupun dosa sudah mengerogoti diri kita dan Dia akan berlalu serta tanpa rasa jijik atas kedosaan kita, Dia akan memeluk dan menciumi kita dengan kasih-Nya.
Sikap anak sulung juga menjadi gambaran perilaku kita yang merasa diri sudah hidup benar, sehingga menuntuk perlakuan istimewa dari Tuhan dan tidak membutuhkan pertobatan. Anak sulung itu yang merasa tidak pernah membantah ayahnya, merasa diri sudah hidup benar, begitu marah kepada ayahnya karena ayahnya masih mau menerima adiknya yang sudah sangat bersalah dan berdosa. Dia cemburu dan merasa ayahnya tidak adil, karena justru berpesta pora menyambut adiknya yang kembali padahal dia merasa ayahnya tidak pernah memberikan seekor anak kambing pun sebagai balasan atas kebaikannya selama ini. Anak sulung itu tidak mau menerima kembalinya adiknya yang telah berdosa. Anak sulung itu juga merasa kecewa atas sikap ayahnya yang justru tidak hanya menerima adiknya yang kembali tetapi malah berpesta dalam penyambutan. Anak sulung itu berpikir bahwa seharusnya ayahnya itu menolak. Tetapi ternyata pikiran ayahnya tidak seperti yang dipikirkannya. Memang itulah kasih yang sejati. Ayah itupun dengan penuh kesabaran untuk membimbing anak sulung agar mau menerima dan bersukacita karena adiknya sudah hidup kembali.
Kitapun sering seperti itu, kita merasa sudah hidup baik, benar, tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah sehingga kita menuntut perlakuan istimewa dari Allah lewat Gereja-Nya. Kitapun karena sikap demikian menjadi gampang menghina, menghakimi dan bahkan tidak rela menerima atau mengampuni sesaka kita yang menyesali kedosaannya dan mau bertobat. Sikap kita yang demikian justru seringkali menghambat orang lain untuk bertobat. Yesus mengajak kita bahwa kalau kita sungguh hidup bersama Yesus, kitapun harus hidup dalam kasih kepada sesama yang salah satunya kasih itu tercurah dalam sikap mau mengampuni sesama.
Maka dari kita, lewat bacaan hari ini tidak lagi berkata bahwa kita tidak seperti anak bungsu yang membutuhkan pertobatan. Anak sulung dan anak bungsu merupakan gambaran perilaku hidup kita sehingga kita semua membutuhkan pertobatan. Allah tidak melihat atau mengukur dari besar kecilnya dosa seseorang yang bertobat, tetapi ketulusan hati untuk kembali kepada Allah karena menyadari kasih karuni Allah yang sungguh besar dan membawa kita ke kebahagiaan hidup. Maka kalau Allah yang kudus, tanpa dosa mau menerima dan mengampuni orang yang berdosa, mengapa kita yang tidak terlepas dari kekurangan dan kedosaan justru tidak mau menerima dan mengampuni sesama kita yang bertobat? Semoga kita semua berani memulai pertobatan yang sejati dalam masa prapaskah ini. Amin.
BACAAN INJIL:
Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka." Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: Yesus berkata lagi: "Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."
Demikianlah Injil Tuhan bagi kita hari ini.
RENUNGAN:
“Masihkah Tuhan mau mengampuni dosaku yang sungguh berat?” Pertanyaan ini pernah diucapkan salah seorang narapidana waktu saya bersama kelompok karismatik mengadakan Misa Paskah bersama di sebuah penjara. Saat itu saya dengan yakin dan berani menjawab, “Tuhan pasti mau mengampuni dosa Saudara, sebesar apapun kalau Saudara sungguh mau bertobat dan kembali ke jalan Allah.” Tetapi kalau sekiranya dia bertanya, “Apakah masyarakat, keluarganya dan isterinya masih mau mengampuni kesalahannya dan masih mau menerima dia?” Mungkin pertanyaan ini akan sulit saya jawab dengan pasti, karena seringkali manusia begitu sulit mengampuni sesama yang telah berdosa dan sungguh mau bertobat. Kadang saya berpikir, “Allah saja mau mengampuni dan mau menerima orang yang sungguh bertobat, tetapi mengapa manusia sulit untuk melakukan hal yang sama? Seakan manusia itu justru melebihi Allah sendiri. Padahal Allah adalah Tuhan yang tidak berdosa, mau mengampuni sedangkan manusia tidak ada yang tidak lepas dari kesalahan, tetapi justru tidak mau mengampuni sesamanya.
Injil hari ini, pasti sungguh menarik untuk kita baca dan lebih menarik lagi bila kita renungkan. Kerap orang mengatakan bahwa judul yang tepat untuk perikop ini adalah “Allah Bapa yang berbelas kasih.” Bukan “Anak yang hilang”. Sehubungan dengan hal ini, kita tidak perlu terlalu mempersoalkanya, karena bagi kita adalah merenungkan pesan yang mau disampaikan Allah lewat perikop ini. Kita juga tidak usah terlalu disibukkan untuk menilai dari antara kedua anak itu, mana yang paling berdosa dan yang membutuhkan pertobatan. Sebab seringkali orang sibuk dalam hal ini sehingga merasa diri tidak seperti anak bungsu sehingga tidak membutuhkan pertobatan.
Baik anak sulung maupun anak bungsu, sama-sama tidak terlepas dari kesalahan, kekurangan dan dosa, yang membutuhkan pertobatan. Memang anak sulung tampak jelas perbuatannya yang membuat kita dapat menilai bahwa dia sungguh telah berdosa. Anak bungsu itu merasa dirinya tidak bebas bila tinggal bersama ayahnya, dia ingin bebas dengan hidup sesuka hatinya. Hidup bersama ayahnya dianggap seperti pengekangan diri. Oleh karena itu dia meminta warisan yang menjadi haknya, padahal ayahnya masih hidup. Umumnya yang namanya warisan, itu diterima seseorang ketika ayahnya atau orang tuanya sudah meninggal dunia. Sehingga dengan meminta harta warisan padahal orang tua masih hidup, itu berarti bahwa seseorang itu menganggap ayahnya telah mati. Dapat Anda bayangkan bagimana perasaan anda sekiranya anak Anda meminta warisan padahal Anda masih hidup bahkans egar bugar. Itu sama halnya menganggap Anda sudah mati buat dia. Namun walaupun demikian, ayah itu tetap memberikannya walau dengan terpaksa. Terpaksa tentu bukan karena tidak rela memberinya kepada anaknya, tetapi karena ayahnya itu tahu bahwa perbuatan anaknya itu tidak benar. Ayah itu juga tahu bahwa semuanya itu hanyalah karena akal-akalan anaknya yang merasa ingin hidup bebas sesukanya, dan juga tahu bahwa anaknya akan menderita bila jauh darinya. Namun ayahnya itu tetap memberikannya dan berharap anaknya sadar dan kelak kembali kepadanya. Keraguan ayahnya itu memang benar terbukti, anaknya itu hanya ingin merasa bebas hidup sesuka hatinya, ayahnya itu juga benar bahwa anaknya tidak bisa hidup bahagia bila terpisah darinya, ayah itupun benar bahwa anaknya tidak akan bahagia hidup dalam perbuatan kedosaannya. Kerinduan ayah yang penuh cinta kasih menantikan kembalinya atau pertobatan anaknya juga terkabul karena anaknya kembali kepadanya.
Semuanya itu diceritakan dengan sangat indah dalam injil hari ini. Anak bungsu itu setelah mendapat warisan dari ayahnya, dia pergi jauh menghabiskan hartanya, hidup berfoyah-foyah menghabiskan harta yang diterima dan dia jatuh pada perbuatan dosa yang besar. Akhirnya anak itupun sadar dan kembali ke ayahnya. Namun dia kembali ke ayahnya bukan karena menyadari kasih ayahnya yang sangat besar, bukan pula karena sadar bahwa dia tidak bisa hidup bahagia bila jauh dan tigak tinggal bersama ayahnya. Dia kembali, lebih karena dia menderita dan ingin terbebas dari penderitaan. Namun walaupun demikian, ayahnya yang penuh belaskasih itu digambarkan selalu menunggu dia kembali dan dari jauh sudah melihat anaknya itu kembali. Bahkan Injil mengambarkan bahwa dari jauh ayah itu sudah bisa mengenal anaknya yang kembali, juga digambarkan bahwa ayah itu berlari menyongsongnya, memeluk dan menciuminya. Padahal pasti kondisi tubuh anaknya sudah berubah, yang mungkin karena kelaparan dia sudah kurus, kumal dan mungkin saja sudah berpenyakitan. Namun ayahnya masih bisa mengenalinya dari jauh, berlari menyongsongnya dan tanpa rasa jijik sedikitpun ayah itu memeluk dan menciuminya. Bukan hanya itu, ayah itu sungguh bersukacita karena anaknya sudah kembali kepadanya sehingga dia mengadakan pesta yang besar. Cintanya yang sungguh besar tercurah dari ayahnya itu, dan pasti ini membuat anak itu yang semula kembali kepada ayahnya karena dia kelaparan, menderita, menjadi sungguh-sungguh mengalami pertobatan sejati. Pertobatan sejatinya itu karena akhirnya dia menyadari betapa besar kasih ayahnya kepadanya dan kasih ayahnya itulah yang membawa dia ke kebahagiaan.
Sikap anak bungsu menjadi gambaran kita. Tanpa sadar ataupun dengan sadar kita menganggap bahwa Tuhan telah mati dalam hidup kita, kita menganggap Tuhan telah mati. Menganggap Tuhan telah mati adalah manakala kita tidak percaya lagi kepada-Nya, manakala kita menganggap bahwa kita tidak membutuhkan Tuhan dalam hidup kita, karena kita menganggap bahwa tanpa Dia kita bisa hidup karena kita memiliki harta, kemampuan dan kuasa atau pangkat. Kitapun sering menganggap bahwa perintah-perintah Tuhan justru menghalangi kebebasan kita berbuat sesuka hati kita. Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa Tuhan itu justru mengekang kebebasan kita untuk hidup sesuka hati kita. Kita sering berontak dalam hal ini sehingga pelan-pelan dan pasti kita meninggalkan Dia. Namun hari ini, lewat perikop ini hendaknya kita sadar, bahwa pikiran yang demikian adalah sungguh keliru. Kita diajak belajar dari pengalaman anak bungsu itu. Oleh karena itu, mari kita bertobat dengan menyadari kasih Allah yang sungguh besar, dalam dalam kasih-Nya itu kita akan menemukan kebahagiaan, bukan kebahagiaan itu bukan pada harta, bukan pada kausa, bukan pula pada kebebasan pribadi dan terutama bukan pula dalam kedosaan kita. Kalaupun kita selama ini sudah salah dan berdosa, hendaknya kita kembali kepada Tuhan karena Tuhan selalu menanti kepulangan kita, dia tetap mengenal kita dari jauh walaupun dosa sudah mengerogoti diri kita dan Dia akan berlalu serta tanpa rasa jijik atas kedosaan kita, Dia akan memeluk dan menciumi kita dengan kasih-Nya.
Sikap anak sulung juga menjadi gambaran perilaku kita yang merasa diri sudah hidup benar, sehingga menuntuk perlakuan istimewa dari Tuhan dan tidak membutuhkan pertobatan. Anak sulung itu yang merasa tidak pernah membantah ayahnya, merasa diri sudah hidup benar, begitu marah kepada ayahnya karena ayahnya masih mau menerima adiknya yang sudah sangat bersalah dan berdosa. Dia cemburu dan merasa ayahnya tidak adil, karena justru berpesta pora menyambut adiknya yang kembali padahal dia merasa ayahnya tidak pernah memberikan seekor anak kambing pun sebagai balasan atas kebaikannya selama ini. Anak sulung itu tidak mau menerima kembalinya adiknya yang telah berdosa. Anak sulung itu juga merasa kecewa atas sikap ayahnya yang justru tidak hanya menerima adiknya yang kembali tetapi malah berpesta dalam penyambutan. Anak sulung itu berpikir bahwa seharusnya ayahnya itu menolak. Tetapi ternyata pikiran ayahnya tidak seperti yang dipikirkannya. Memang itulah kasih yang sejati. Ayah itupun dengan penuh kesabaran untuk membimbing anak sulung agar mau menerima dan bersukacita karena adiknya sudah hidup kembali.
Kitapun sering seperti itu, kita merasa sudah hidup baik, benar, tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah sehingga kita menuntut perlakuan istimewa dari Allah lewat Gereja-Nya. Kitapun karena sikap demikian menjadi gampang menghina, menghakimi dan bahkan tidak rela menerima atau mengampuni sesaka kita yang menyesali kedosaannya dan mau bertobat. Sikap kita yang demikian justru seringkali menghambat orang lain untuk bertobat. Yesus mengajak kita bahwa kalau kita sungguh hidup bersama Yesus, kitapun harus hidup dalam kasih kepada sesama yang salah satunya kasih itu tercurah dalam sikap mau mengampuni sesama.
Maka dari kita, lewat bacaan hari ini tidak lagi berkata bahwa kita tidak seperti anak bungsu yang membutuhkan pertobatan. Anak sulung dan anak bungsu merupakan gambaran perilaku hidup kita sehingga kita semua membutuhkan pertobatan. Allah tidak melihat atau mengukur dari besar kecilnya dosa seseorang yang bertobat, tetapi ketulusan hati untuk kembali kepada Allah karena menyadari kasih karuni Allah yang sungguh besar dan membawa kita ke kebahagiaan hidup. Maka kalau Allah yang kudus, tanpa dosa mau menerima dan mengampuni orang yang berdosa, mengapa kita yang tidak terlepas dari kekurangan dan kedosaan justru tidak mau menerima dan mengampuni sesama kita yang bertobat? Semoga kita semua berani memulai pertobatan yang sejati dalam masa prapaskah ini. Amin.
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.