Dipo Alam dan Kontroversi Gagak Hitam
JAKARTA, KOMPAS.com — Menanggapi pernyataan tokoh lintas agama yang menyebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kebohongan, Sekretaris Kabinet Dipo Alam bereaksi. Dalam beberapa kesempatan, Dipo menyebut para pemuka agama itu sebagai burung gagak hitam pemakan bangkai yang tampak seperti merpati berbulu putih.
Tak pelak, pernyataan yang dinilai defensif tersebut menuai kritikan. Kompas.com mendapat kesempatan mewawancarai Dipo Alam, yang juga mantan aktivis tahun 1970-an di Kantor Sekretaris Kabinet, Jakarta, Kamis (17/2/2011) silam. Dipo pun mengutarakan asal-muasal istilah tersebut.
"Saya katakan, mereka gagak hitam, karena mereka terkontaminasi dengan gerakan politik," katanya. Pernyataan ini, kata dia, tak mencerminkan sikap pemerintahan, melainkan pernyataan pribadi. "Kebetulan saya seorang Seskab. Saya sebagai manusia politik punya hak juga untuk menilai," ujarnya.
Dipo menuding gerakan moral tersebut bermuatan politis. Hal ini tercermin dari kesimpulan deklarasi yang menyatakan Presiden telah melanggar konstitusi. "Itu saya melihat arahnya sudah politik, karena kalau sudah dianggap melanggar konstitusi, itu layak di-impeach," katanya.
Wacana bahwa Presiden melakukan kebohongan, menurut Dipo, semakin melebar. Saat ini, kata dia, ada Badan Serikat Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Pembohongan Publik, yang merangkul mahasiswa. Ada pula pendirian rumah-rumah pengaduan kebohongan.
Dipo khawatir ada pihak-pihak yang menunggangi gerakan moral pemuka agama, namun tidak dapat memastikannya. "Pada dasarnya, pemerintah sama sekali tak alergi mendapat kritikan. Ini negara demokrasi. Kita tidak takut karena sembilan poin kebohongannya adalah suatu yang debatable," ungkapnya.
Presiden, kata Dipo, mengakui ada sejumlah program yang belum tercapai 100 persen. Namun, hal ini tak bisa serta-merta dikatakan melanggar konstitusi.
Terkait tudingan ini, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo A Benny Susetyo, menyatakan, perjuangannya dan beberapa pemuka agama adalah perjuangan yang berdasarkan hati nurani. Romo Benny merupakan salah satu tokoh deklarator gerakan moral tersebut.
Menurut Romo Benny, kegiatan yang berdasarkan hati nurani berbeda dengan kegiatan politik kekuasaan. Hati nurani, katanya, selalu membimbing seseorang untuk memperjuangkan yang tertindas dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai hal utama. Sedangkan politik selalu berorientasi pada kekuasaan. "Saya tidak ingin jadi menteri atau jadi apa-apa, saya ini pastor," katanya, seperti dilansir Antara.
Ia menegaskan, gereja Katolik memberi batasan tegas bahwa seorang pastor tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik yang berorientasi kekuasaan. Imam atau pastor memiliki tiga tugas utama, yaitu tugas menguduskan dunia, tugas kenabian melalui pewartaan keadilan, dan tugas gembala dengan melindungi sesama terutama yang lemah.
Sementara itu, anggota Presidium KWI, Mgr PC Mandagi, menyatakan, KWI mendukung sepenuhnya upaya tokoh lintas agama yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Indonesia. "KWI mendukung sepenuhnya. Kalau kita tidak bersuara, maka itu bukan KWI," katanya.
Perjuangan tokoh-tokoh lintas agama, menurut Pastor Mandagi, adalah perjuangan moral. Perjuangan itu merupakan upaya para tokoh agama untuk mengingatkan pemerintah bahwa ada sesuatu yang salah. Dia menegaskan, tokoh lintas agama hendak mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah bekerja keras dalam menyejahterakan dan menyatukan rakyat. "Seharusnya pemerintah bersyukur ada tokoh agama yang mau mengingatkan," ujarnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, pernyataan Dipo Alam merupakan pengalihan isu dari apa yang telah dinyatakan para tokoh lintas agama. "Saya tidak punya waktu melayani tuduhan seperti itu karena bersifat mengalihkan perhatian orang," katanya.
Disadur dari : http://nasional.kompas.com/Penulis: Hindra Liu | Editor: Nasru Alam Aziz, Kamis, 17 Februari 2011 | 16:21 WIB
Tak pelak, pernyataan yang dinilai defensif tersebut menuai kritikan. Kompas.com mendapat kesempatan mewawancarai Dipo Alam, yang juga mantan aktivis tahun 1970-an di Kantor Sekretaris Kabinet, Jakarta, Kamis (17/2/2011) silam. Dipo pun mengutarakan asal-muasal istilah tersebut.
"Saya katakan, mereka gagak hitam, karena mereka terkontaminasi dengan gerakan politik," katanya. Pernyataan ini, kata dia, tak mencerminkan sikap pemerintahan, melainkan pernyataan pribadi. "Kebetulan saya seorang Seskab. Saya sebagai manusia politik punya hak juga untuk menilai," ujarnya.
Dipo menuding gerakan moral tersebut bermuatan politis. Hal ini tercermin dari kesimpulan deklarasi yang menyatakan Presiden telah melanggar konstitusi. "Itu saya melihat arahnya sudah politik, karena kalau sudah dianggap melanggar konstitusi, itu layak di-impeach," katanya.
Wacana bahwa Presiden melakukan kebohongan, menurut Dipo, semakin melebar. Saat ini, kata dia, ada Badan Serikat Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Pembohongan Publik, yang merangkul mahasiswa. Ada pula pendirian rumah-rumah pengaduan kebohongan.
Dipo khawatir ada pihak-pihak yang menunggangi gerakan moral pemuka agama, namun tidak dapat memastikannya. "Pada dasarnya, pemerintah sama sekali tak alergi mendapat kritikan. Ini negara demokrasi. Kita tidak takut karena sembilan poin kebohongannya adalah suatu yang debatable," ungkapnya.
Presiden, kata Dipo, mengakui ada sejumlah program yang belum tercapai 100 persen. Namun, hal ini tak bisa serta-merta dikatakan melanggar konstitusi.
Terkait tudingan ini, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo A Benny Susetyo, menyatakan, perjuangannya dan beberapa pemuka agama adalah perjuangan yang berdasarkan hati nurani. Romo Benny merupakan salah satu tokoh deklarator gerakan moral tersebut.
Menurut Romo Benny, kegiatan yang berdasarkan hati nurani berbeda dengan kegiatan politik kekuasaan. Hati nurani, katanya, selalu membimbing seseorang untuk memperjuangkan yang tertindas dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai hal utama. Sedangkan politik selalu berorientasi pada kekuasaan. "Saya tidak ingin jadi menteri atau jadi apa-apa, saya ini pastor," katanya, seperti dilansir Antara.
Ia menegaskan, gereja Katolik memberi batasan tegas bahwa seorang pastor tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik yang berorientasi kekuasaan. Imam atau pastor memiliki tiga tugas utama, yaitu tugas menguduskan dunia, tugas kenabian melalui pewartaan keadilan, dan tugas gembala dengan melindungi sesama terutama yang lemah.
Sementara itu, anggota Presidium KWI, Mgr PC Mandagi, menyatakan, KWI mendukung sepenuhnya upaya tokoh lintas agama yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Indonesia. "KWI mendukung sepenuhnya. Kalau kita tidak bersuara, maka itu bukan KWI," katanya.
Perjuangan tokoh-tokoh lintas agama, menurut Pastor Mandagi, adalah perjuangan moral. Perjuangan itu merupakan upaya para tokoh agama untuk mengingatkan pemerintah bahwa ada sesuatu yang salah. Dia menegaskan, tokoh lintas agama hendak mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah bekerja keras dalam menyejahterakan dan menyatukan rakyat. "Seharusnya pemerintah bersyukur ada tokoh agama yang mau mengingatkan," ujarnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, pernyataan Dipo Alam merupakan pengalihan isu dari apa yang telah dinyatakan para tokoh lintas agama. "Saya tidak punya waktu melayani tuduhan seperti itu karena bersifat mengalihkan perhatian orang," katanya.
Disadur dari : http://nasional.kompas.com/Penulis: Hindra Liu | Editor: Nasru Alam Aziz, Kamis, 17 Februari 2011 | 16:21 WIB
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.