Akademisi: Agama dijadikan “bensin” konflik
Direktur Pusat Dialog Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalidjaga Yogyakarta Nur Kholis Setiawan mengatakan konflik bernuansa agama yang terjadi di Tanah Air terjadi karena agama dijadikan “bensin”.
“Saya tidak ingin mengatakan bahwa konflik itu pemicunya karena agama, tetapi agama itu jadikan sebagai bensin atau sebagai bahan bakar tambahan yang mempercepat konflik itu,” katanya di Palu, Senin.
Ia mengatakan hal itu di sela-sela Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural bagi para tokoh agama, pemuda dan mahasiswa lintas agama.
Dialog tersebut dilaksanakan atas kerjasama Kementerian Urusan Eropa dan Kerjasama Internasional Kerajaan Belanda dan Pusat Kerukunan Umat Beragama, Dialog Centre UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Kementerian Agama Sulawesi Tengah.
Menurut Nur Kholis, cara beragama sebagian masyarakat Indonesia belum berangkat dari bingkai kebangsaan sehingga masih sering terjadi diskriminasi.
“Di daerah mayoritas Muslim, misalnya, Muslim lebih berkuasa. Begitu juga di daerah yang mayoritas Kristen, Kristen juga berbuat yang sama. Yang lain tidak mendapat tempat” katanya.
Kondisi ini, kata dia, merupakan realitas kehidupan beragama di Indonesia dimana cara beragama sebagian masyarakat dalam bingkai kebangsaan masih minim.
Di sinilah, kata Nur Kholis, pentingnya peran Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) kendati perannya belum maksimal.
“FKUB itu masih semacam paguyuban karena kebetulan ada dana daerah di sana, sehingga banyak orang mau terlibat. Pada saat yang sama belum tentu semua mau terlibat dalam program-program kebangsaan,” katanya.
Kondisi itu, kata dia, tergambar saat Kongres Nasional FKUB Desember 2011 yakni muncul kecemburuan diantara FKUB karena ada yang mendapat fasilitas dari pemerintah dan ada yang tidak.
“Ada kabupaten yang iri dengan kabupaten lain karena mendapat fasilitas mobil. Padahal peran yang dimainkan mestinya bukan itu,” katanya.
Menurut Nur Kholis, kendala yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah konflik selama ini masih lebih pada dialog wacana dan bukan dialog karya.
Padahal, kata dia, mestinya dalam rangka membangun kebersamaan dan kerukunan tidak lagi pada wacana dialog tetapi lebih pada dialog karya misalnya dengan penanaman pohon bersama sehingga lahir kesadaran bersama terhadap lingkungan. “Atau misalnya dengan pemberdayaan ekonomi bersama sehingga bisa lebih menyatu,” katanya.
Sumber: kompas.com
Disadur dari: www.cathnewsindonesia.com
“Saya tidak ingin mengatakan bahwa konflik itu pemicunya karena agama, tetapi agama itu jadikan sebagai bensin atau sebagai bahan bakar tambahan yang mempercepat konflik itu,” katanya di Palu, Senin.
Ia mengatakan hal itu di sela-sela Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural bagi para tokoh agama, pemuda dan mahasiswa lintas agama.
Dialog tersebut dilaksanakan atas kerjasama Kementerian Urusan Eropa dan Kerjasama Internasional Kerajaan Belanda dan Pusat Kerukunan Umat Beragama, Dialog Centre UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Kementerian Agama Sulawesi Tengah.
Menurut Nur Kholis, cara beragama sebagian masyarakat Indonesia belum berangkat dari bingkai kebangsaan sehingga masih sering terjadi diskriminasi.
“Di daerah mayoritas Muslim, misalnya, Muslim lebih berkuasa. Begitu juga di daerah yang mayoritas Kristen, Kristen juga berbuat yang sama. Yang lain tidak mendapat tempat” katanya.
Kondisi ini, kata dia, merupakan realitas kehidupan beragama di Indonesia dimana cara beragama sebagian masyarakat dalam bingkai kebangsaan masih minim.
Di sinilah, kata Nur Kholis, pentingnya peran Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) kendati perannya belum maksimal.
“FKUB itu masih semacam paguyuban karena kebetulan ada dana daerah di sana, sehingga banyak orang mau terlibat. Pada saat yang sama belum tentu semua mau terlibat dalam program-program kebangsaan,” katanya.
Kondisi itu, kata dia, tergambar saat Kongres Nasional FKUB Desember 2011 yakni muncul kecemburuan diantara FKUB karena ada yang mendapat fasilitas dari pemerintah dan ada yang tidak.
“Ada kabupaten yang iri dengan kabupaten lain karena mendapat fasilitas mobil. Padahal peran yang dimainkan mestinya bukan itu,” katanya.
Menurut Nur Kholis, kendala yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah konflik selama ini masih lebih pada dialog wacana dan bukan dialog karya.
Padahal, kata dia, mestinya dalam rangka membangun kebersamaan dan kerukunan tidak lagi pada wacana dialog tetapi lebih pada dialog karya misalnya dengan penanaman pohon bersama sehingga lahir kesadaran bersama terhadap lingkungan. “Atau misalnya dengan pemberdayaan ekonomi bersama sehingga bisa lebih menyatu,” katanya.
Sumber: kompas.com
Disadur dari: www.cathnewsindonesia.com
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.