20 gereja di Aceh disegel dan terancam dibongkar
Sebanyak 20 gereja di Aceh, khususnya di Kabupaten Singkil, telah disegel dan terancam dibongkar oleh pemerintah daerah setempat. Gereja-gereja itu dianggap tidak memenuhi syarat pembangunan tempat ibadah yang ditetapkan pemerintah daerah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengatakan, ia dan politisi PDI-P lain yakni Adang Ruchiatna dan Moh Sayed, serta Suroso dari Fraksi Partai Gerindra menerima pengaduan penutupan 20 gereja di Aceh dari Aliansi Sumut Bersatu, Senin kemarin.
Sumber masalah dari penutupan tempat ibadah itu, kata Eva, yakni Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.
Dalam Peraturan itu, lanjut dia, syarat pendirian tempat ibadah lebih berat dibanding Surat Keputusan Bersama dua menteri yang mengatur hal sama.
“Kalau SKB mensyaratkan 60 anggota jemaah Gereja untuk mengajukan permohonan IMB (izin mendirikan bangunan), maka peraturan gubernur itu meminta 150 jemaah,” kata Eva di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (12/6/2012) seperti dilansir kompas.com.
Eva menambahkan, lebih menyedihkan adanya fatwa lokal yang mengharamkan bagi umat muslim untuk memberi tandatangan persetujuan pembangunan tempat ibadah selain masjid. Artinya, katanya, upaya meminta tandatangan persetujuan dari masyarakat sekitar tidak mungkin tercapai.
Eva menambahkan, bukan hanya tempat ibadah baru yang terancam dibongkar. Bahkan, Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi yang sudah berdiri sejak 1932 pun dipaksa untuk mengikuti kesepakatan komunitas tahun 1971 dan 2001 yang berisi hanya memperbolehkan satu gereja di Kabupaten Singkil.
“Sesuatu yang tidak relevan mengingat saat ini penganut agama Kristen sudah mencapai 1.500 keluarga. Mereka menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Singkil. Belum lagi umat Katolik yang tidak mungkin berbagi Gereja dengan umat Protestan,” lanjutnya.
Eva mengatakan, perlu ketegasan dan bimbingan dari pemerintah pusat agar pelaksanaan keistimewaan Aceh tetap dalam koridor NKRI.
Menurutnya, kesepakatan tahun 1971 dan 2001 itu tidak sesuai dengan konstitusi sehingga tidak boleh dipaksakan.
“Bimbingan dari Menteri Dalam Negeri (Gamawan Fauzi) diperlukan agar muspida dan Kapolres dapat bertindak adil dan netral bagi semua warga negara sesuai hukum nasional dan tidak tertekan oleh ormas intoleran setempat,” tambahnya.
Disadur dari: indonesia.ucanews.com
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.