Indonesia tidak butuh UU Kerukunan Umat Beragama
Romo Antonius Benny Susetyo
Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) yang belum disahkan DPR masih memunculkan kontroversi dari berbagai kalangan khususnya tokoh agama. Beberapa tokoh agama menyatakan penolakan penolakannya terhadap rencana pengesahan RUU KUB menjadi Undang-Undang.
Menurut Guru Besar Institut Agama Islam (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Abdul A’la, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama (KUB) perlu dikaji ulang mengenai aspek kepentingan yang disuarakan.
Abdul A’la mengatakan, beberapa kasus yang diduga penodaan agama diharapkan tidak membuat pemerintah secara tidak langsung menyatakan hal tersebut penodaan agama, sebelum ada kajian secara detail.
“Semua elemen masyarakat harus dilibatkan dalam pembahasan itu, tidak hanya lembaga formal. Jadi tidak hanya menjadi kepentingan pemerintah, tetapi kepentingan masyarakat,” kata Abdul A’la di hotel Ina Simpang, Selasa (10/1).
Sementara itu Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI), Romo Antonius Benny Susetyo mengungkapkan, bangsa Indonesia tidak membutuhkan UU KUB, karena yang terpenting adalah jaminan kebebasan beragama.
“Kalau melihat naskah akademisnya itu ada reduksi. Bahwa kekerasan-kekerasan yang terjadi itu akibat pembiaran negara, hukum tidak ditegakkan,” ujar Romo Benny.
Menurutnya, RU U KUB cenderung mengurusi hal-hal yang bertentangan dengan kebebasan beragama, yang sebenarnya tidak menjawab permasalahan terkait isu kerukunan umat beragama.
“Ini malah mengurusi masalah jenasah, adopsi anak, bantuan luar negeri, hari besar agama konghucu malah tidak masuk, kemudian mengenai sisdiknas, penyiaran, dan penodaan agama. Dalam konstitusi, kerukunan tidak dikenal, yang dikenal adalah jaminan kebebasan beragama,” tambah Romo Benny yang dengan tegas menolak dan meminta naskah RUU KUB dikembalikan. (lensa indonesia)
Disadur dari:www.cathnewsindonesia.com
Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) yang belum disahkan DPR masih memunculkan kontroversi dari berbagai kalangan khususnya tokoh agama. Beberapa tokoh agama menyatakan penolakan penolakannya terhadap rencana pengesahan RUU KUB menjadi Undang-Undang.
Menurut Guru Besar Institut Agama Islam (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Abdul A’la, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama (KUB) perlu dikaji ulang mengenai aspek kepentingan yang disuarakan.
Abdul A’la mengatakan, beberapa kasus yang diduga penodaan agama diharapkan tidak membuat pemerintah secara tidak langsung menyatakan hal tersebut penodaan agama, sebelum ada kajian secara detail.
“Semua elemen masyarakat harus dilibatkan dalam pembahasan itu, tidak hanya lembaga formal. Jadi tidak hanya menjadi kepentingan pemerintah, tetapi kepentingan masyarakat,” kata Abdul A’la di hotel Ina Simpang, Selasa (10/1).
Sementara itu Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI), Romo Antonius Benny Susetyo mengungkapkan, bangsa Indonesia tidak membutuhkan UU KUB, karena yang terpenting adalah jaminan kebebasan beragama.
“Kalau melihat naskah akademisnya itu ada reduksi. Bahwa kekerasan-kekerasan yang terjadi itu akibat pembiaran negara, hukum tidak ditegakkan,” ujar Romo Benny.
Menurutnya, RU U KUB cenderung mengurusi hal-hal yang bertentangan dengan kebebasan beragama, yang sebenarnya tidak menjawab permasalahan terkait isu kerukunan umat beragama.
“Ini malah mengurusi masalah jenasah, adopsi anak, bantuan luar negeri, hari besar agama konghucu malah tidak masuk, kemudian mengenai sisdiknas, penyiaran, dan penodaan agama. Dalam konstitusi, kerukunan tidak dikenal, yang dikenal adalah jaminan kebebasan beragama,” tambah Romo Benny yang dengan tegas menolak dan meminta naskah RUU KUB dikembalikan. (lensa indonesia)
Disadur dari:www.cathnewsindonesia.com
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.