PERARAKAN PATUNG BUNDA MARIA
DALAM RANGKA PENUTUPAN BULAN MARIA
DI STASI TAMPOK HITE TGL 31 OKTOBER 2010
DALAM RANGKA PENUTUPAN BULAN MARIA
DI STASI TAMPOK HITE TGL 31 OKTOBER 2010
Sore itu langit tampak tidak bersahabat. Gerimis kecil mengiringi perjalanan kami ( Rm Kim, Fr, dan beberapa Mudika) menuju stasi Tampok Hite. Padahal sore itu dijadwalkan misa penutupan bulan Maria, suatu perayaan yang umun dikalangan umat Katolik. Bulan Oktober yang oleh Gereja dikhusukan sebagai bulan Rosario memang seringkali dirayakan dengan penuh semarak untuk menghormati Bunda Maria. Kali ini stasi Tampok Hite mengakhiri perayaan Bulan Rosario dengan mengarak Patung Bunda Maria keliling kampung setelah dengan rutin melakukan doa rosario dari rumah ke rumah selama bulan Oktober. Berangkat dari salah satu rumah umat dan diarak menuju ke gereja stasi. Meski gerimis agak deras umat dengan penuh semangat berjalan sambil memegang sebatang lilin, mereka mendaraskan doa rosario ditengah gerimis dan diantara sekian pasang mata yang menonton didepan rumah mereka. Sesekali untaian doa rosario diselingi dengan lagu-lagu Maria yang dibawakan dalam bahasa Toba membuat perarakan ini menjadi begitu sakral dan membuat hati mereka yang mendegar nyanyian ini menjadi teduh. Bahkan lolongan anjing kampung pun menambah semangat mereka untuk menyanyi dengan lebih keras.
Patung Maria diarak paling depan di ikuti anak-anak dan umat lalu menyusul pengurus, misdinar dan Romo Kim dan umat lainya. Rombongan berjalan ditengah-tengah derai tawa dan senda gurau bapak-bapak yang menikmati tuak di kedai-kedai. Ditengah asiknya perrbincangan mereka, ketika rombongan kami lewat mereka mereka seakan-akan terheran-heran dengan apa yang kami lakukan sehingga meluangkan waktu sejenak untuk “menonton” kami. Anak-anak berhamburan keluar dari rumah mereka dengan penuh rasa ingin tahu, dengan tawa polos, dan bisik-bisik keheranan, mereka menatap patung Maria yang lewat seakan-akan mereka ingin disapa sebagai anak-anaknya, tak puas dengan itu mereka mengikuti agak jauh di belakang rombongan.
Malam itu umat stasi Tampok Hite menjadi saksi sebuah tradisi Devosi Gereja Katolik yang sudah dilakukan berabd-abad. Mereka menjadi tanda bahwa Bunda Maria memiliki tempat yang istimewa dalam Gereja Katolik dan iman mereka. Tanpa malu dan takut untuk diejek mereka mewartakan sebuah Devosi yang selama ini mungkin dianggap aneh oleh kelompok atau sadara/i dari gereja lain.
Tampok Hite menaburkan benih devosi yang apat dijadikan contoh untuk mengawali sebuah tradisi devosi secara lebih luas di Paroki Tiggalingga.
Setelah rombongan sampai di gereja, patung Bunda Maria di letakkan di depan altar dan dilanjutkan dengan Ekaristi yang dipimpin oleh Rm. Kim. Gereja tampak penuh karena umat hampir semua datang. Dalam kotbahnya Rm. Kim menekankan pentingnya penghormatan terhadap Bunda Maria yang menjadi perantara kita untuk sampai pada Yesus. Ekaristi ini menjadi semarak karena setelah komuni ibu-ibu dengan kornya yang penuh semangat menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Toba yang indah. Setelah Ekaristi berakhir umat tidak langsung pulang. Mereka tingal di Gereja sejenak untuk menikmati makanan ringan yaitu ‘Lapet’. Setelah menikmati Lapet mereka baru pulang kerumah masing-masing.(Den’s)
Patung Maria diarak paling depan di ikuti anak-anak dan umat lalu menyusul pengurus, misdinar dan Romo Kim dan umat lainya. Rombongan berjalan ditengah-tengah derai tawa dan senda gurau bapak-bapak yang menikmati tuak di kedai-kedai. Ditengah asiknya perrbincangan mereka, ketika rombongan kami lewat mereka mereka seakan-akan terheran-heran dengan apa yang kami lakukan sehingga meluangkan waktu sejenak untuk “menonton” kami. Anak-anak berhamburan keluar dari rumah mereka dengan penuh rasa ingin tahu, dengan tawa polos, dan bisik-bisik keheranan, mereka menatap patung Maria yang lewat seakan-akan mereka ingin disapa sebagai anak-anaknya, tak puas dengan itu mereka mengikuti agak jauh di belakang rombongan.
Malam itu umat stasi Tampok Hite menjadi saksi sebuah tradisi Devosi Gereja Katolik yang sudah dilakukan berabd-abad. Mereka menjadi tanda bahwa Bunda Maria memiliki tempat yang istimewa dalam Gereja Katolik dan iman mereka. Tanpa malu dan takut untuk diejek mereka mewartakan sebuah Devosi yang selama ini mungkin dianggap aneh oleh kelompok atau sadara/i dari gereja lain.
Tampok Hite menaburkan benih devosi yang apat dijadikan contoh untuk mengawali sebuah tradisi devosi secara lebih luas di Paroki Tiggalingga.
Setelah rombongan sampai di gereja, patung Bunda Maria di letakkan di depan altar dan dilanjutkan dengan Ekaristi yang dipimpin oleh Rm. Kim. Gereja tampak penuh karena umat hampir semua datang. Dalam kotbahnya Rm. Kim menekankan pentingnya penghormatan terhadap Bunda Maria yang menjadi perantara kita untuk sampai pada Yesus. Ekaristi ini menjadi semarak karena setelah komuni ibu-ibu dengan kornya yang penuh semangat menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Toba yang indah. Setelah Ekaristi berakhir umat tidak langsung pulang. Mereka tingal di Gereja sejenak untuk menikmati makanan ringan yaitu ‘Lapet’. Setelah menikmati Lapet mereka baru pulang kerumah masing-masing.(Den’s)
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.