Berharap dan Beresiko Bersama Paus Fransiskus
Jorge Mario Bergoglio, atau kini Paus Fransiskus, dijuluki oleh majalah Time sebagai «Person of the Year» untuk tahun 2013. Salah satu alasannya ialah karena ia membawa Gereja ke dalam kehidupan sehari-hari, tempat seantero soal dan masalah manusia berkelindan. Ada homoseksualitas, ada aborsi, ada phedofilia yang tersembunyi di tubuh manusia; tapi juga ada struktur keserakahan, pasar kapitalisme neo-liberal, dan kekuasaaan agama yang kokoh di atas kepala manusia.
Dan Paus Fransiskus menaruh dirinya dan Gereja di tengah-tengah itu semua: ia menyambut tubuh rentan kita, lalu membasuhnya, namun ia juga menantang struktur raksasa di langit hari-hari kita, lalu mengutuknya.
Sungguh-sungguhkah ia?
Wong Cilik
Paul Vallely, penulis buku “Pope Francis: Untying the Knots” (London, Bloomsbury,2013) mencatat dengan jelas bahwa masa kecil Paus sebagai anak keluarga kelas pekerja membuatnya cepat melihat kehidupan berpeluh dan nestapa mayoritas manusia. Ilusi hidup serba baik-baik tak ada padanya. Malah sejak usia 13 tahun ia sudah diminta ayahnya bekerja di pabrik kaus kaki. Segera juga Paus tahu martabat manusia akan dinista kalau ia menganggur – dan martabat kaum papa ini adalah sebentuk ihwal spiritualitas mendalam baginya.
Maka ideologi Peronisme cepat memikat hatinya, semacam “marhaenisme” Soekarno kalau di sini.
Ideologi itu cukup unik dan jadi “sinkretis” kalau di Argentina: konservatif, terharu pada rakyat papa, dan anti imperialisme global.
Saat “perang kotor” tahun 1976-an di Argentina, saat junta militer menghilangkan hampir 20.000 orang, Paus Fransiskus jelas-jelas sadar bahwa ada kekuatan imperial global di balik kekejaman itu. Ia memang tak mudah mengambil tindakan yang bijak kala itu. Kita tahu ada kontroversi soal derajat keterlibatannya dalam penculikan dua imam Jesuit oleh pihak Angkatan Laut Argentina saat itu.
Di pihak lain, setelah kediktatoran militer itu sirna di Argentina, tetap saja orang miskin di mana-mana.
Maka ia sungguh-sungguh tahu struktur keserakahan pasar global, dan struktur itu telah menggores banyak trauma di tubuh rakyat kecil sehari-hari. Untuk itu ia memang mulai dengan membasuh kaki mereka yang terjangkit virus global, yaitu penderita HIV-AIDS. Ia pun membela imam yang melayani di wilayah kumuh, tempat narkoba diedarkan dari mancanegara. Ia pernah mengeluhkan itu semua: mengapa kami harus merawat korban globalisasi itu terus menerus? Tidak adakah jalan mengurangi korban-korban itu?
Menghadang Struktur Kerakusan
Bisakah ia, selanjutnya, sungguh-sungguh menantang globalisasi kapitalisme mutakhir ini? Bisakah kita berharap bersamanya, pasca tahun 2013 ini, sampai ke tingkat resiko yang sedemikian itu?
Sesungguhnya ada dasar dalam iman Katolik untuk masuk dalam resiko itu.
Saya pernah bertanya ke seorang rekan, Martin Robra, staf Dewan Gereja Se-Dunia di Genewa, saat kami naik bis umum melewati kantor pusat ILO (International Labour Organization): mengapa Gereja Katolik memiliki staf menetap di organisasi buruh dunia itu, sementara Gereja Protestan tidak? Jawabnya, ”Umat Katolik-lah yang paling menderita akibat revolusi industri dan kapitalisme, namun mereka tidak mau mengikuti jalan protes a la Marxisme, tapi mencari alternatif dengan Ajaran Sosial Gereja, yang amat solider dengan kaum buruh”.
“Dan kita Protestan”, sambung saya sedikit berspekulasi berlagak berteori, “memuji-muji Weber karena etos Calivinismenya yang konon nyambung dengan roh kapitalisme”.
Dalam arti lain, dari sanubari Katolisisme ada daya untuk menantang struktur kerakusan pasar kapitalisme saat ini. Iman Katolik memakai istilah “struktur dosa” (ini bisa dibaca: struktur kerakusan) yang perlu dihadang oleh “struktur rahmat”.
Dengan kata lain, ada struktur dosa yang dilihat bekerja dalam ketidakadilan dan penindasan, yang membuat manusia jadi serigala atau penghisap bagi sesamanya.
Struktur itu berfokus pada mamon (baca: uang), dan ia bekerja dengan prinsip mengakumulasi diri, sehingga ia akan pula bekerja memiskinkan orang lain. Maka di sini gereja perlu memihak pada struktur yang lain: artinya, ia perlu bekerja agar hidup bersama bisa bermuatan belas kasih yang adil, di mana struktur rahmat nyata bekerja.
Struktur rahmat itu kurang lebih beroperasi kalau dalam hidup masyarakat terwujud empat hal: mekanisme berbagi, penghargaan pada kesetaraan martabat manusia, munculnya aksi-aksi solidaritas membantu yang lemah, dan terbukanya partisipasi demi melayani sesama manusia.
Dengan kata lain yang diperbanyak ialah “the commons”, alias kepemilikan publik yang menjadi basis hidup sehari-hari. Bukan pemutlakan kepemilikan pribadi dalam bentuk mamon yang terus menggandakan diri itu.
Kalau Paus ini tahun 2014 nanti bergerak ke arah pemberlakuan “struktur rahmat” itu, maka pastilah kita semua mendapat alasan baru untuk terus berharap bersamanya. Dan sejarah dunia akan tampak menjadi -memakai ungkapan Itali kesukaan presiden Soekarno: Vivere Pericoloso!
Dr. Martin Lukito Sinaga adalah pendeta pada Gereja Kristen Protestan Simalungun, juga dosen tamu di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Artikel ini telah dimuat di situs satuharapan.com pada 30 Desember 2013.
Disadur dari: indonesia.ucanews.com
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.