DI DEPAN MISTERI KEMATIAN
Rahasia kematian hari-hari ini menyapaku, amat menggugat dalam tanya dan memaksa merenunginya dalam rahasia agung Si Empunya kehidupan Tuhan Allah kita. Betapa tidak, seorang sahabat yang menjadi ibu keluarga bagi suami yang diplomat dengan dua putri dan satu putranya, dipanggil Tuhan begitu lekas dalam hitungan mingguan mendekati satu bulan karena kanker getah bening.
Anak-anak itu satu per satu disapa dididik dengan mandiri oleh sang ibu; dikenalkan dengan makanan kesukaan masing-masing dan disiapkan dengan perkembangan pendidikan watak yang mandiri. Mereka juga menyayangi adik serta menghormati dan cinta ke orang tua dengan dialog-dialog terbuka membahas masalah dari yang sepele sampai yang berat.
Bila diekstremkan, seluruh waktu si ibu diberikan pada keluarga dan anak-anak, mulai dari mengantar dan menjemput sekolah sampai menemani menjadi guru. Anak yang paling kecil dan duduk di bangku TK menjelang SD, meski lebih pintar berbahasa Inggris, tetap diajari bahasa Indonesia.
Maka ketika tiap kali menjadi tamu mereka di luar negeri, saya menemukan rumah dengan oase segar rohani. Karena tiap kali diundang oleh mereka untuk misa ibadah bersama, dilanjutkan dengan makan penuh syukur.
Namun, itulah tadi, sang ibu sampai tidak memperhatikan dirinya sendiri. Suara bagus dan koor serta solislah satu-satunya ruang ia memuji Yang Ilahi dengan suara amat merdu. Ini menjadi sanctuary bagi spiritualitasnya dengan tangan jemari menderaskan Rosario doa untuk Bunda Maria agar menuju Yesus Tuhan; menjadi curahan hati dan rasa perasa yang hanya ia sendiri yang tahu di saat akhirnya ia tahu kanker getah bening akut menjalarinya.
Dalam hening di misa requiem kematian, di RS Panti Rapih, Yogyakarta, ia tampaknya minta ke Tuhan untuk hari pemakamannya pada Minggu, 12 Mei 2013. Betapa dahsyat
“banyak kebetulan-kebetulan yang merupakan tanda-tanda dari langit” karena udara cerah sekali hari itu.
“Kebetulan” rekan-rekan suami yang di Departemen Luar Negeri berkumpul di Yogya, ada yang mantu sehingga kebanyakan mereka bisa hadir di sekitar peti pembaringannya yang wajahnya semakin siang semakin “tersenyum” seakan-akan memberi tahu untuk tidak bersedih.
Wajah itu semakin “tersenyum” saat penantian putrinya yang ditunggu dari Kanada mendekati kedatangannya. Ada kebetulan aneh pula saat Sabtu-nya, jadi sehari sebelum di Yogya Panti Rapih, ada pertemuan reuni eks siswi-siswi SMP Santa Maria, teman-teman SMP-nya dahulu.
Menjamah misteri kematian, terasakanlah misteri “kehadiran” atau presence dan “ketidakhadiran” atau absence.
Mengapa ia dipanggil dari antara kami justru saat ia selalu mengusahakan agar kami semua sehat dan tidak sakit? Ia bersikap seperti Bunda Maria yang selalu menyimpan semuanya dengan diam mengheningkannya dalam doa dalam cakap-cakap dengan Tuhan sendiri.
Hari-hari ini pasti ketidakhadiran dirasakan sekali oleh anak-anak tercinta dan suami serta kami yang ditinggalkan. Being absent physically, pengalaman merasai absennya dalam sapa-sapa yang biasanya dirasakan oleh si kecil bungsu, si nomor dua lelaki dan si sulung yang ketika sudah datang dari terbang jauh ke tanah air lalu merangkul adik-adiknya dan bersama sang ayah menciumi ibu terus dengan bahasa hening mencekam Tuhan menghadapnya.
Terasa sekali bagaimana dalam kitab suci Yesus yang menangisi kematian sahabat-Nya Lazarus di depan saudari-saudarinya Lazarus, yaitu Maria dan Marta.
Suasana serupa hanya bisa ditangkap maknanya dalam iman akan kebangkitan manakala Yesus menyatakan “saudaramu akan bangkit”. Jadi yang absen adalah sosok fisik dan yang hadir adalah “ruh” yang didoakan semua dalam misa kudus untuk diampuni kesalahan dan diterima di pangkuan Allah di Surga.
Dalam kematian yang “merenggut” seperti memutuskan langkah sesungguhnya justru ditunjukkanlah bahwa semua ada waktunya. Semua dibuat indah menurut kehendak-Nya (bukan kehendak kami manusia dan bukan pula tafsir waktu kami!) dibuat indah pada waktunya.
Di sinilah terjawab bahwa kebetulan-kebetulan tadi menyatu di depan misteri kematian, hening merenungi selesainya tugasmu sebagai ibu yang hadir di dunia untuk anak-anakmu dan suami.
Namun pada saat yang sama, engkau “hadir” kembali dengan pendampingmu, doamu, penyertaanmu lebih dekat dengan Tuhan kita. Kini anak-anak dan kami dengan berbahasa doa terus kauantarkan ke Tuhan dan bisa kami mintai tolong bahkan dalam suka dan duka hidup melaksanakan tugas panggilan ini sampai nanti pada saatnya kita masing-masing juga pasti akan kembali ke rumah Bapa tanpa tahu kapan itu terjadi.
Karena itu kematianmu menjadi jalan iman menuju kebangkitan seperti janji Yesus yang setelah mati disalib.
Dia pergi ke rumah Bapa menyediakan tempat bagi kita semua.
Karena itu pula meski kami sedih, namun engkau terus hadir spiritually karena kami boleh meneladanmu dalam menjadi butir gabah yang mengorbankan diri untuk mencintai keluargamu, jatuh ke tanah dan mengelupas agar tumbuh padi-padi baru, ya anak-anakmu, suami dan kami semua yang dengan “mata iman baru” disadarkan di depan kematian bahwa kami terus sedang dalam perjalanan atau ziarah.
Ziarahmu dengan suami dan anak-anak sebagai tim perjalanan tugas benar-benar kau hayati dari negara yang satu ke negara yang lain dan kini pasti pula “secara ruh” hadirmu akan menyertai suami, anak-anak dan mereka yang menyertaimu untuk terus berziarah dan bepergian nanti ke tujuan akhir kembali ke rumah Bapa.
Doakan kami, doakan agar tempat di surga selalu ada untuk kami karena Yesus pergi ke Bapa bersamamu untuk menyediakan tempat di rumah Bapa. Selamat jalan dan selamat bertemu Bapa di Surga Icus.
*Dalam Peringatan 7 harinya 17 Mei 2013, Mudji Sutrisno SJ adalah Budayawan.
Artikel ini telah diterbitkan oleh shnews.co pada 8 Juni 2013
Disadur dari: www.cathnewsindonesia.comArtikel ini telah diterbitkan oleh shnews.co pada 8 Juni 2013
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.