Vatikan, Ateis, dan spirit pluralisme
Pemutusan hubungan kerja terjadi di banyak tempat. Tingkat pengangguran melonjak di hampir semua negara di benua biru tersebut. Ekonomi Yunani, Irlandia, Spanyol, dan Italia nyaris bangkrut.
Sementara negara-negara yang lebih kuat, seperti Prancis, Austria, dan Belanda, juga ikut terpengaruh. Bahkan negara dengan ekonomi terkuat di Eropa, seperti Jerman, juga dipertanyakan ketahanannya.
Formula kapitalisme ternyata tak cukup digdaya. Sistem ekonomi yang menyandarkan diri pada kekuatan pasar dan bergantung pada logika penumpukan kapital ini ternyata hanya melambungkan satu persen manusia ke piramida kesejahteraan dan menyerat 99 persen lainnya ke jurang ketidakberdayaan.
Revisi berulang kali yang dilakukan terhadapnya belum cukup memoles wajah bopengnya. Ide negara kesejahteraan pun belum bisa menjadi obat.
Secara paradoks, globalisasi kapitalisme (baca: neoliberalisme) justru melahirkan kebencian terhadap segala hal yang “asing” dan pada saat bersamaan menumbuhkan sikap fundamentalis.
Migrasi kapital dan manusia, yang justru kerap mencipta jurang kesejahteraan, secara pelahan menumbuhkan sikap saling curiga dan memunculkan ledakan kebencian atas nama suku, ras, maupun agama.
Penghargaan terhadap manusia yang mestinya bersifat universal tiba-tiba berhenti hanya pada kelompok sendiri.
Situasi inilah yang agaknya mendorong Vatikan untuk kembali “membuka jendela” agar bisa melihat ke luar, untuk berdialog dengan dunia yang tengah berlari tunggang langgang. Istilah “membuka jendela” pertama kali dikemukakan oleh Paus Yohanes XXIII pada 1962, saat ditanya alasan digelarnya Konsili Vatikan II.
“Saya ingin membuka jendela dari gereja sehingga kita bisa melihat keluar dan mereka yang ada di luar bisa melihat ke dalam,” ungkapnya.
Konsili Vatikan II yang digelar selama tiga tahun dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi saat itu. Gereja tak hanya berfokus pada urusan surga atau laku baik perorangan, tapi lebih pada penyelamatan dunia dan manusia–sebagai entitas yang utuh—di dalamnya.
Salah satu dokumen kontroversial yang lahir dari Konsili Vatikan II adalah dekrit kebebasan beragama (Dignitatis Humanae). Dekrit ini menjadi “jendela” untuk memangkas sikap arogan komunitas agama yang bisa berdampak pada pengabaian kemanusiaan.
Sumber: Vatikan, Ateis, dan spirit pluralisme
Disadur dari: indonesia.ucanews.com Sumber: Vatikan, Ateis, dan spirit pluralisme
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.