UU Perkawinan terkait anak di luar nikah, langgar konstitusi
Anak yang lahir dari luar nikah selama ini hanya memiliki hubungan perdata kepada ibu dan keluarga ibu.
Hal itu termuat dalam Pasal 2 (2) dan Pasal 43 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), UU Perkawinan terkait pasal-pasal tersebut, melanggar konstitusi.
Karena itu, MK mengabulkan uji materi perkara yang diajukan pemohon Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar, istri siri dari Mantan Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono (almarhum).
Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengatakan, aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pasalnya anak hasil hubungan di luar nikah harusnya juga memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya.
Dengan catatan, kata Fadlil, sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi, saksi, serta alat bukti lain yang menurut hukum dapat dibuktikan kebenarannya, anak tersebut lahir dari hasil persetubuhan pasangan.
“Anak lahir di luar perkawinan itu memiliki hubungan darah dengan ayahnya,” kata Fadlil saat membaca putusan di gedung MK, Jumat (17/2).
MK menyatakan anak yang lahir di luar pernikahan tetap mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Tetapi harus dibuktikan dengan saksi atau tes DNA.
MK menyatakan Pasal 43 (1) UU Perkawinan yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, mulai saat ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Sehingga pasal tersebut harus dibaca “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”,” tambahnya.
Putusan hakim tidak bulat, sebab hakim konstitusi lain Maria Farida Indrati berbeda pendapat (dissenting opinion).
Menurut Maria, berdasarkan agama, norma masyarakat, dan aturan yang ada sebelumnya, sudah tepat.
Pasalnya fenomena sekarang ini membuat perwakinan kontrak marak dan perkawinan di bawah tangan yang tidak dilakukan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, sehingga anak tidak memiliki akta. Sehingga negara tidak mengakui adanya anak lahir di luar perkawinan. “Ini risiko dan dosa turunan dalam salah satu agama,” kata Maria.
Disadur dari: www.cathnewsindonesia.com
Hal itu termuat dalam Pasal 2 (2) dan Pasal 43 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), UU Perkawinan terkait pasal-pasal tersebut, melanggar konstitusi.
Karena itu, MK mengabulkan uji materi perkara yang diajukan pemohon Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar, istri siri dari Mantan Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono (almarhum).
Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengatakan, aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pasalnya anak hasil hubungan di luar nikah harusnya juga memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya.
Dengan catatan, kata Fadlil, sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi, saksi, serta alat bukti lain yang menurut hukum dapat dibuktikan kebenarannya, anak tersebut lahir dari hasil persetubuhan pasangan.
“Anak lahir di luar perkawinan itu memiliki hubungan darah dengan ayahnya,” kata Fadlil saat membaca putusan di gedung MK, Jumat (17/2).
MK menyatakan anak yang lahir di luar pernikahan tetap mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Tetapi harus dibuktikan dengan saksi atau tes DNA.
MK menyatakan Pasal 43 (1) UU Perkawinan yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, mulai saat ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Sehingga pasal tersebut harus dibaca “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”,” tambahnya.
Putusan hakim tidak bulat, sebab hakim konstitusi lain Maria Farida Indrati berbeda pendapat (dissenting opinion).
Menurut Maria, berdasarkan agama, norma masyarakat, dan aturan yang ada sebelumnya, sudah tepat.
Pasalnya fenomena sekarang ini membuat perwakinan kontrak marak dan perkawinan di bawah tangan yang tidak dilakukan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, sehingga anak tidak memiliki akta. Sehingga negara tidak mengakui adanya anak lahir di luar perkawinan. “Ini risiko dan dosa turunan dalam salah satu agama,” kata Maria.
Disadur dari: www.cathnewsindonesia.com
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.