Beberapa faktor penyebab pesantren radikal
Nuhrison M Nuh berbicara pada forum buka puasa bersama di Jakarta
Seorang pejabat Departemen Agama mengakui bahwa ada beberapa pondok pesantren yang memang mengajarkan paham radikal.Namun ada banyak penyebabnya.
“Berdasarkan kajian kami bahwa sebagian pondok pesantren di Indonesia dididik radikal,” kata Nuhrison M. Nuh, seorang pejabat dari Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Hal itu disampaikan Nuhrison dalam acara buka puasa bersama yang mengambil tema ‘Radikalisasi pesantren dan akar penyebab,’ yang dihadiri oleh 50 perserta dari lintas agama di Jakarta Pusat, hari Jumat pekan lalu.
Nuhrison mengakui bahwa radikalisasi di pesantren itu diajarkan oleh mereka yang belajar di Timur Tengah, dan ketika pulang ke Indonesia mereka mendirikan pondok pesantren sebagai sarana untuk menyebarkan ideologi radikal.
Masih berdasarkan kajian Kemenag, beberapa faktor yang menimbulkan radikalisasi dan terror, antara lain pemahaman yg keliru tentang jihad terutama yang mengedepankan teror dan perang, ketidakadilan sosial, kemiskinan, politik yang membuat orang Islam terpinggirkan, kesenjangan sosial, solidaritas agama seperti di Palestina, dan pengetahuan agama yg minim.
Di ponpes, lanjutnya, seharusnya mengajarkan paham agama yang luas tentang nilai-nilai toleransi, damai dan cinta kasih, dan bukannya menyebarkan permusuhan.
Namun, ia mengakui bahwa pihaknya tidak bisa menutup ponpes-ponpes tersebut. Solusi yang ditawarkan adalah bekerjasama dengan MUI dalam menerbitkan buku untuk meluruskan arti jihad sebenarnya dan disebarkan ke ponpes-ponpes di seluruh Indonesia.
Dyah Madya Ruth, dari Lazuardi Birru, sebuah LSM Islam, mengatakan lembaganya meneliti ponpes-ponpes radikal di 13 kota di Indonesia.
“Kita jangan menyalahkan pesantren tapi siapa yang tangani ponpes tersebut,” katanya.
Menurutnya, radikalisasi muncul akibat pemahaman agama yang menyalahkan dan menganggap agama lain kafir, serta cara mendidik yang mengucilkan sehingga mereka tidak mengenal orang diluar mereka.
Wanita itu mengatakan pesantren eksklusif karena mereka kecewa dengan kehidupan diluar ponpes yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, serta mereka tak dirangkul oleh masyarakat dan pemerintah.
Solusinya, pemerintah harus tegas karena organisasi radikal meningkat meski dukungan menurun, katanya. “Kami coba promosikan pluralisme dan arti jihad yang benar terutama di kalangan generasi muda termasuk pondok pesantren.”
Umar Abdul, pengamat intelijen, menjelaskan sejumlah akar persoalan munculnya radikalisasi termasuk kebijakan pemerintahan dalam politik yg mengkianati pluralisme dengan mengeluarkan perda-perda yang sangat membingungkan non Muslim.
Menurutnya, selama ini Depag tak mengajarkan umat Islam dengan agama yg baik terutama membangun karakter dan iman, dan cuma mengatur kurikulum. Radikalisasi sengaja dipelihara negara dan selain itu penyalahgunaan kekuasaan oleh negara.
Disadur dari :www.cathnewsindonesia.com , Tanggal publikasi: 15 Agustus 2011
Seorang pejabat Departemen Agama mengakui bahwa ada beberapa pondok pesantren yang memang mengajarkan paham radikal.Namun ada banyak penyebabnya.
“Berdasarkan kajian kami bahwa sebagian pondok pesantren di Indonesia dididik radikal,” kata Nuhrison M. Nuh, seorang pejabat dari Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Hal itu disampaikan Nuhrison dalam acara buka puasa bersama yang mengambil tema ‘Radikalisasi pesantren dan akar penyebab,’ yang dihadiri oleh 50 perserta dari lintas agama di Jakarta Pusat, hari Jumat pekan lalu.
Nuhrison mengakui bahwa radikalisasi di pesantren itu diajarkan oleh mereka yang belajar di Timur Tengah, dan ketika pulang ke Indonesia mereka mendirikan pondok pesantren sebagai sarana untuk menyebarkan ideologi radikal.
Masih berdasarkan kajian Kemenag, beberapa faktor yang menimbulkan radikalisasi dan terror, antara lain pemahaman yg keliru tentang jihad terutama yang mengedepankan teror dan perang, ketidakadilan sosial, kemiskinan, politik yang membuat orang Islam terpinggirkan, kesenjangan sosial, solidaritas agama seperti di Palestina, dan pengetahuan agama yg minim.
Di ponpes, lanjutnya, seharusnya mengajarkan paham agama yang luas tentang nilai-nilai toleransi, damai dan cinta kasih, dan bukannya menyebarkan permusuhan.
Namun, ia mengakui bahwa pihaknya tidak bisa menutup ponpes-ponpes tersebut. Solusi yang ditawarkan adalah bekerjasama dengan MUI dalam menerbitkan buku untuk meluruskan arti jihad sebenarnya dan disebarkan ke ponpes-ponpes di seluruh Indonesia.
Dyah Madya Ruth, dari Lazuardi Birru, sebuah LSM Islam, mengatakan lembaganya meneliti ponpes-ponpes radikal di 13 kota di Indonesia.
“Kita jangan menyalahkan pesantren tapi siapa yang tangani ponpes tersebut,” katanya.
Menurutnya, radikalisasi muncul akibat pemahaman agama yang menyalahkan dan menganggap agama lain kafir, serta cara mendidik yang mengucilkan sehingga mereka tidak mengenal orang diluar mereka.
Wanita itu mengatakan pesantren eksklusif karena mereka kecewa dengan kehidupan diluar ponpes yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, serta mereka tak dirangkul oleh masyarakat dan pemerintah.
Solusinya, pemerintah harus tegas karena organisasi radikal meningkat meski dukungan menurun, katanya. “Kami coba promosikan pluralisme dan arti jihad yang benar terutama di kalangan generasi muda termasuk pondok pesantren.”
Umar Abdul, pengamat intelijen, menjelaskan sejumlah akar persoalan munculnya radikalisasi termasuk kebijakan pemerintahan dalam politik yg mengkianati pluralisme dengan mengeluarkan perda-perda yang sangat membingungkan non Muslim.
Menurutnya, selama ini Depag tak mengajarkan umat Islam dengan agama yg baik terutama membangun karakter dan iman, dan cuma mengatur kurikulum. Radikalisasi sengaja dipelihara negara dan selain itu penyalahgunaan kekuasaan oleh negara.
Disadur dari :www.cathnewsindonesia.com , Tanggal publikasi: 15 Agustus 2011
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.