Kegiatan keagamaan umat paroki diprotes
Sekitar 40 umat Islam dari dua kelompok di Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menggelar aksi protes secara damai di pintu masuk Paroki St. Joannes Baptista saat sekitar 350 umat paroki sedang mengikuti Misa Minggu di bawah sebuah tenda semi-permanen.
Kurang dari 10 aparat kepolisian mengawasi para demonstran yang berasal dari Gerakan Pemuda Parung dan Forum Umat Muslim Parung. Di bawah penjagaan ketat, Misa Minggu tetap berjalan dengan baik tetapi jumlah umat paroki yang hadir lebih sedikit dibandingkan minggu lalu.
Aksi protes pada Minggu, 29 Januari, itu merupakan aksi kedua yang digelar oleh kedua kelompok tersebut. Minggu sebelumnya, sejumlah wakil dari kedua kelompok ini menggelar aksi serupa untuk menentang kegiatan keagamaan umat paroki. Aksi inilah yang menyebabkan jumlah umat paroki yang menghadiri Misa Minggu menurun.
“Mereka datang untuk mengawal SK Bupati 2010 tentang penghentian seluruh kegiatan keagamaan di tempat ini,” kata Hendrikus Masan Hena, staf humas paroki.
Dibantu oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat, Hena berhasil melakukan dialog dengan para demonstran. Hasilnya, “mereka menginginkan tidak adanya kegiatan keagamaan minggu depan kecuali pemerintah Kabupaten Bogor, dalam hal ini bupati, memberi izin bahwa tempat ini bisa dipakai untuk beribadah.”
Laporan menyebutkan bahwa Bupati Rachmat Yasin sudah membuat surat sanggahan itu. “Namun kami belum mendapatkannya,” lanjutnya.
”Saya berharap pemerintah menyikapi masalah ini,” katanya.
Menurut staf sekretariat paroki, Agustinus Indharta, aksi-aksi protes itu bukan yang pertama yang dihadapi oleh sekitar 3.000 umat paroki.
“Aksi protes pertama terjadi tahun 2004, ketika kami mengadakan Misa Paskah di bawah tenda bongkar-pasang di paroki. Lalu kegiatan keagamaan sempat vakum karena demonstrasi tersebut. Kegiatan keagamaan dimulai lagi tahun 2008,” katanya.
Paroki membeli tanah seluas 7.000 meter persegi tahun 1990, tetapi belum mendapatkan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) meskipun berkas-berkas sudah diajukan tahun 2007. Paroki sudah memenuhi semua persyaratan seperti yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri yang dikeluarkan tahun 2006 tentang pendirian tempat ibadah.
Untuk kebutuhan pelayanan sehari-hari, sebuah ruang doa, pastoran dan sekretariat sudah dibangun, sementara Misa Minggu diadakan di bawah sebuah tenda semi-permanen.
“Nampaknya ada kolaborasi politik. Proses pengurusan IMB macet di tingkat kelurahan,” jelas Hena.
Oleh Katharina R. Lestari, Jakarta
Disadur dari: www.cathnewsindonesia.com
Kurang dari 10 aparat kepolisian mengawasi para demonstran yang berasal dari Gerakan Pemuda Parung dan Forum Umat Muslim Parung. Di bawah penjagaan ketat, Misa Minggu tetap berjalan dengan baik tetapi jumlah umat paroki yang hadir lebih sedikit dibandingkan minggu lalu.
Aksi protes pada Minggu, 29 Januari, itu merupakan aksi kedua yang digelar oleh kedua kelompok tersebut. Minggu sebelumnya, sejumlah wakil dari kedua kelompok ini menggelar aksi serupa untuk menentang kegiatan keagamaan umat paroki. Aksi inilah yang menyebabkan jumlah umat paroki yang menghadiri Misa Minggu menurun.
“Mereka datang untuk mengawal SK Bupati 2010 tentang penghentian seluruh kegiatan keagamaan di tempat ini,” kata Hendrikus Masan Hena, staf humas paroki.
Dibantu oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat, Hena berhasil melakukan dialog dengan para demonstran. Hasilnya, “mereka menginginkan tidak adanya kegiatan keagamaan minggu depan kecuali pemerintah Kabupaten Bogor, dalam hal ini bupati, memberi izin bahwa tempat ini bisa dipakai untuk beribadah.”
Laporan menyebutkan bahwa Bupati Rachmat Yasin sudah membuat surat sanggahan itu. “Namun kami belum mendapatkannya,” lanjutnya.
”Saya berharap pemerintah menyikapi masalah ini,” katanya.
Menurut staf sekretariat paroki, Agustinus Indharta, aksi-aksi protes itu bukan yang pertama yang dihadapi oleh sekitar 3.000 umat paroki.
“Aksi protes pertama terjadi tahun 2004, ketika kami mengadakan Misa Paskah di bawah tenda bongkar-pasang di paroki. Lalu kegiatan keagamaan sempat vakum karena demonstrasi tersebut. Kegiatan keagamaan dimulai lagi tahun 2008,” katanya.
Paroki membeli tanah seluas 7.000 meter persegi tahun 1990, tetapi belum mendapatkan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) meskipun berkas-berkas sudah diajukan tahun 2007. Paroki sudah memenuhi semua persyaratan seperti yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri yang dikeluarkan tahun 2006 tentang pendirian tempat ibadah.
Untuk kebutuhan pelayanan sehari-hari, sebuah ruang doa, pastoran dan sekretariat sudah dibangun, sementara Misa Minggu diadakan di bawah sebuah tenda semi-permanen.
“Nampaknya ada kolaborasi politik. Proses pengurusan IMB macet di tingkat kelurahan,” jelas Hena.
Oleh Katharina R. Lestari, Jakarta
Disadur dari: www.cathnewsindonesia.com
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.