RENUNGAN HARI BIASA PEKAN XIX, JUMAT 12 AGUSTUS 2011
(Yohana Fransiska de Chantal, Isodorus Bakanja)
Yos 24:1-13, Mzm 136:1-3,16-18,21-22,24, Mat 19:3-12
(Yohana Fransiska de Chantal, Isodorus Bakanja)
Yos 24:1-13, Mzm 136:1-3,16-18,21-22,24, Mat 19:3-12
BACAAN INJIL:
"Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
RENUNGAN:
Sering orang mengatakan bahwa menjadi biarawan biarawati atau hidup selibut adalah hidup yang paling mulia, lebih luhur dibandingkan sebagai awam dan berkeluarga. Sebab dikatakan bahwa menjadi awam atau hidup berkeluarga penuh dengan kedosaan dan tidak bisa sepenuhnya mengarahkan hidup kepada Allah sebab bagaimanapun orang yang berkeluarga terikat pada keluarganya.
Juga mungkin kita pernah ditanya sehubungan dengan para imam yang tidak menikah. Pada umumnya bila pertanyaan itu diajukan kepada kita, jawaban yang kita berikan demikian, “Para imam tidak menikah atau tidak berkeluarga supaya dalam pelayanan mereka tidak terganggu oleh keluarga sehingga bisa sepenuhnya untuk pelayanan.” Jawaban demikian juga baik, tetapi kiranya bukan menjadi jawaban yang menunjukkan hakekat keluhuran panggilan hidup selibat.
Panggilan hidup kristiani adalah untuk mengikuti Yesus Kristus. Dalam Gereja kita panggilan itu bisa dijalani dengan hidup berkeluarga maupun dengan hidup selibat atau menjadi biarawan-biarawati. Dalam mengikuti Yesus Kristus baik dengan hidup berkeluarga maupun hidup selibat adalah sama luhurnya, tidak ada istilah bahwa hidup selibat adalah nomor satu sedangkan hidup berkeluarga adalah kelas dua. Hakekat dari keduanya adalah mengikuti Yesus Kristus. Kita yang dipanggil mengikuti Yesus Kristus bebas memilih apakah kita mengikuti Yesus dengan cara hidup berkeluarga atau dengan hidup selibat. Secara singkat kita katakan bahwa keluhuran kedua cara hidup ini terletak pada kesetiaan kita dalam mengikuti Yesus sesuai dengan apa yang telah kita pilih dan janjikan. Kalau seseorang memilih mengikuti Yesus dengan hidup berkeluarga, baiklah dia setia pada pilihannya dengan segala konsekuensi dari pilihannya. Demikian juga bila seseorang memilih mengikuti Yesus dengan cara hidup selibat. Jadi dengan jelas bahwa menjadi hidup selibat bukan karena melihat dan menganggap bahwa hidup berkeluarga itu berat dan tidak baik, tetapi lebih pada keinginan untuk mengikuti Yesus secara lebih utuh. Juga bukan karena supaya tidak terganggu oleh keluarga bila mau melayani Tuhan.
Yang sering menjadi persoalan adalah kita tidak setia pada pilihan hidup yang sudah kita pilih dan pada janji yang sudah kita janjikan. Dalam hal ini sehubungan dengan injil hari ini kita diajak terlebih merenungkan sehubungan dengan hakekat perkawinan. Dengan tegas Yesus mengatakan bahwa Allah tidak menghendaki perceraian dalam perkawinan, namun karena ketegaran hati manusia dan ketidaksetiaan manusia maka terjadilah perceraian. Perkawinan yang tidak terceraikan itu pada masa ini mendapat suatu tantangan karena saat ini bercerai bukan lagi dianggap suatu hal yang tabu, bahkan sudah dianggap sebagai gaya hidup. Media massa dan para artis atau orang terkenal dengan santainya membeberkan perceraian mereka dan demikian juga saat mereka menikah lagi. Tidak sedikit pula dari umat katolik yang mengusulkan agar Gereja mengijinkan perceraian kalau memang keluarga itu tidak bisa dipertahankan lagi demi kemanusiaan dan kebahagiaan hidup umat sendiri. Namun syukurlah dalam hal ini Gereja tetap tegas dan tetap berpegang pada hukum ilahi yang mengatakan bahwa apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Gereja percaya bahwa Allah yang mempersatukan pasangan menjadi suami istri untuk tujuan dan kehendak tertentu dari Allah sendiri. Perkawinan tidak bisa diceraikan oleh siapapun adalah hukum ilahi yang berasal dari Allah sendiri.
Dasar dari perceraian seringkali karena banyak orang tidak lagi melihat nilai luhur dari perkawinan itu. Juga seringkali karena seringkali kita dengan mudah mengucapkan janji tetapi dengan mudah pula kita mengingkarinya. Maka pada permenungan hari ini, mari kita mencoba mendalami janji yang sudah kita janjikan dan berusaha setia pada janji dan pilihan hidup yang telah kita pilih. Amin.
"Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
RENUNGAN:
Sering orang mengatakan bahwa menjadi biarawan biarawati atau hidup selibut adalah hidup yang paling mulia, lebih luhur dibandingkan sebagai awam dan berkeluarga. Sebab dikatakan bahwa menjadi awam atau hidup berkeluarga penuh dengan kedosaan dan tidak bisa sepenuhnya mengarahkan hidup kepada Allah sebab bagaimanapun orang yang berkeluarga terikat pada keluarganya.
Juga mungkin kita pernah ditanya sehubungan dengan para imam yang tidak menikah. Pada umumnya bila pertanyaan itu diajukan kepada kita, jawaban yang kita berikan demikian, “Para imam tidak menikah atau tidak berkeluarga supaya dalam pelayanan mereka tidak terganggu oleh keluarga sehingga bisa sepenuhnya untuk pelayanan.” Jawaban demikian juga baik, tetapi kiranya bukan menjadi jawaban yang menunjukkan hakekat keluhuran panggilan hidup selibat.
Panggilan hidup kristiani adalah untuk mengikuti Yesus Kristus. Dalam Gereja kita panggilan itu bisa dijalani dengan hidup berkeluarga maupun dengan hidup selibat atau menjadi biarawan-biarawati. Dalam mengikuti Yesus Kristus baik dengan hidup berkeluarga maupun hidup selibat adalah sama luhurnya, tidak ada istilah bahwa hidup selibat adalah nomor satu sedangkan hidup berkeluarga adalah kelas dua. Hakekat dari keduanya adalah mengikuti Yesus Kristus. Kita yang dipanggil mengikuti Yesus Kristus bebas memilih apakah kita mengikuti Yesus dengan cara hidup berkeluarga atau dengan hidup selibat. Secara singkat kita katakan bahwa keluhuran kedua cara hidup ini terletak pada kesetiaan kita dalam mengikuti Yesus sesuai dengan apa yang telah kita pilih dan janjikan. Kalau seseorang memilih mengikuti Yesus dengan hidup berkeluarga, baiklah dia setia pada pilihannya dengan segala konsekuensi dari pilihannya. Demikian juga bila seseorang memilih mengikuti Yesus dengan cara hidup selibat. Jadi dengan jelas bahwa menjadi hidup selibat bukan karena melihat dan menganggap bahwa hidup berkeluarga itu berat dan tidak baik, tetapi lebih pada keinginan untuk mengikuti Yesus secara lebih utuh. Juga bukan karena supaya tidak terganggu oleh keluarga bila mau melayani Tuhan.
Yang sering menjadi persoalan adalah kita tidak setia pada pilihan hidup yang sudah kita pilih dan pada janji yang sudah kita janjikan. Dalam hal ini sehubungan dengan injil hari ini kita diajak terlebih merenungkan sehubungan dengan hakekat perkawinan. Dengan tegas Yesus mengatakan bahwa Allah tidak menghendaki perceraian dalam perkawinan, namun karena ketegaran hati manusia dan ketidaksetiaan manusia maka terjadilah perceraian. Perkawinan yang tidak terceraikan itu pada masa ini mendapat suatu tantangan karena saat ini bercerai bukan lagi dianggap suatu hal yang tabu, bahkan sudah dianggap sebagai gaya hidup. Media massa dan para artis atau orang terkenal dengan santainya membeberkan perceraian mereka dan demikian juga saat mereka menikah lagi. Tidak sedikit pula dari umat katolik yang mengusulkan agar Gereja mengijinkan perceraian kalau memang keluarga itu tidak bisa dipertahankan lagi demi kemanusiaan dan kebahagiaan hidup umat sendiri. Namun syukurlah dalam hal ini Gereja tetap tegas dan tetap berpegang pada hukum ilahi yang mengatakan bahwa apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Gereja percaya bahwa Allah yang mempersatukan pasangan menjadi suami istri untuk tujuan dan kehendak tertentu dari Allah sendiri. Perkawinan tidak bisa diceraikan oleh siapapun adalah hukum ilahi yang berasal dari Allah sendiri.
Dasar dari perceraian seringkali karena banyak orang tidak lagi melihat nilai luhur dari perkawinan itu. Juga seringkali karena seringkali kita dengan mudah mengucapkan janji tetapi dengan mudah pula kita mengingkarinya. Maka pada permenungan hari ini, mari kita mencoba mendalami janji yang sudah kita janjikan dan berusaha setia pada janji dan pilihan hidup yang telah kita pilih. Amin.
0 comments:
Post a Comment
Syalom. Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya.Semoga Tuhan memberkati para Saudara.